RADAR BOGOR – Desakan banyak pihak termasuk dua ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU untuk menunda Pilkada 2020 sama sekali tidak menjadi pertimbangan steakholder penyelenggara pemilu.
Hal itu dibuktikan dengan berita acara hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPRRI yang dihadiri oleh Komisi II DPRRI, Kementrian dalam negeri, KPU, Bwaslu dan DKPP yang dilaksanakan hari ini tanggal 21 agustus 2020.
Dalam berita acara tersebut secara jelas dituliskan tidak akan menunda pilkada 2020 dan tetap dilaksanakan tanggal 9 desember tahun 2020.
Padahal, kita semua faham bahwa tanggal 9 desember 2020 hanyalah salah satu tahapan saja dari pelaksanaan pilkada 2020. Adapun tahapan-tahapan lainnya sudah berjalan dari bulan juni tahun 2020.
Proses tahapan inilah yang sangat berpotensi untuk memberikan kobtribusi besar dalam percepatan penularan Covid-19. Yang sangat disesalkan dari hasil RDP tersebut, selain tidak akan menunda pilkada 2020, juga isinya tidak ada hal baru yang memberikan solusi atas keresahan dan kehawatiran akan keselamatan rakyat indonesia terlebih penyelebggara pemilu yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.
Hal itu, bisa dilihat dari point-point kesepakatan yang tidak memunculkan sesuatu yang mengikat dan ajeg, sebagai bentuk upaya pemutusan mata rantai penyebaran covid-19.
Misalnya, seluruh tahapan pemilu masih saja bersipat opsional, boleh tatap muka dan boleh juga virtual. Bahkan tahapan pilkada dilakdanakan secara virtual hannya merupakan dorongan saja.
Selain itu, sama sekali tidak menggambarkan adanya jaminan bahwa penyelenggaraan tahapan pilkada 2020 tidak membentuk klaster baru sebagai klaster baru penyebaran covid-19.
Padahal saya berharap, seandainyapun pillada tahun 2020 tidak bisa ditunda, harus ada kesepakatan baru hasil konsensus bersama untuk ketat dalam pelaksanaan tahapan tidak memberikan opsi-opsi.
Seperti kampanye tidak boleh tatap muka langsung, proses penanganan sengketa juga dilaksanakan secara virtual dan sebagainya. Walaupun hasil RDP mendorong pemberlakuan sanksi terhadap siapapun yang melanggar protokol covid-19, dari dulu juga peraturan penanganan covid-19 sudah ada, termasuk sanksi di dalamabya.
Namun tetap saja peraturan dan sanksi tidak bisa dtegakan dalam proses pelaksanaanya. Para penegak hukum juga tidak berani tegas, contoh konkritnya dalam proses pendaftaran pasangan calon kemaren. Sampai saat ini blm juga ada sanksi atas berbagai pelanggaran tersebut. (*)
Yusfitriadi
Direktur Democracy and Eelectoral Empowerment Parnership (DEEP) Indonesia