Produk Omnibus Law Dinilai Satu Paket dengan Revisi UU KPK

0
59
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). Mereka menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com )
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2020). Mereka menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. (Dery Ridwansah/ JawaPos.com )

JAKARTA-RADAR BOGOR, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja telah sah menjadi Undang-Undang, dalam rapat paripurna yang berlangsung di Gedung DPR RI, pada Senin (5/10).

RUU Cipta Kerja tersebut terkesan cepat disahkan, seharusnya di agendakan pengesahan aturan tersebut baru di paripurna pada Kamis (8/10/2020).

Sekretaris Nasional PILNET Indonesia, Erwin Natosmal Oemar menyesalkan pengesahan RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah bersama DPR RI. Erwin menilai, UU Cipta Kerja yang baru disahkan itu satu paket dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), atau revisi UU KPK.

“Saya melihat serangkaian kebijakan revisi UU MK, KPK, Omnimbus Law dan UU Minerba merupakan satu paket dari kebijakan politik hukum Jokowi yang berpikir ekonomi sebagai panglima,” kata Erwin kepada JawaPos.com, Senin (5/10).

Sebab pasca revisi UU KPK, kinerja lembaga antirasuah itu hingga kini belum juga menorehkan prestasi. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama semester satu, KPK hanya menangani enam kasus.

Erwin memandang, jika melihat sejarah penekanan ekonomi tanpa didasari aturan hukum yang mengikat, maka akan menimbulkan dampak buruk. Tak menutup kemungkinan akan masif terjadinya praktik korupsi.

“Belajar dari sejarah, penekanan ekonomi tanpa adanya rule of law, maka hanya menimbulkan ketimpangan dan praktik korupsi yang masif sebagaimana Orde Baru,” cetus Erwin.