Media Asing Soroti Hukuman Tidur Dalam Peti Mati Hingga Gali Kuburan Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan

0
33
Sanksi
Ilustrasi: Salah satu pelanggar protokol kesehatan disanksi push up oleh petugas Polsek Sukaraja, pada saat operasi yustisi, Kamis (1/10/2020).

“Kuburan akan membuat orang takut dan ketika mereka takut, mereka tidak akan lagi melanggar aturan, mereka akan memakai masker,” ujar Suyono, camat Cerme, Gresik, Jawa Timur.

Sanksi yang diberikan beragam, jika di Jakarta, orang-orang akan diminta masuk ke dalam peti mati maka di Gresik, pelanggar diminta berbaring di ambulans.

Salah satu pelanggar bernama Affandi mengatakan kepada Sky News, “Saat itu cuaca sangat panas dan saya ketakutan,” dia akui hukuman itu efektif memberi jera dan dia berjanji tidak akan melupakan maskernya.

Hukuman seperti itu dianggap pemerintah Jawa Timur efektif setelah lebih dari satu juta warga melanggar aturan Covid-19 dalam 3 pekan di wilayah tersebut.

Menurut Camat Suyono, angka pelanggaran menurun dengan penerapan hukuman seperti itu. Suatu perubahan baik yang diharapkan mampu menekan kasus infeksi Covid-19 di wilayah itu.

Adapun menurut media asing lainnya, ABC Australia, pada September lalu melaporkan bahwa sanksi seperti itu di Jakarta kurang efektif. ABC Australia mewawancarai pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono yang mengatakan bahwa sanksi-sanksi seperti itu tidak efektif mendidik warga.

Mereka mungkin menertawakan sanksi-sanksi itu karena mereka tahu itu hanyalah peti mati biasa. Jika kita mau menakuti mereka, lakukanlah dengan benar,” ujar Dr Priono dikutip ABC Australia, 19 September 2020.

ABC juga mewawancarai Abu Hassan, kepala Badan Penertiban Umum di Gresik yang mengatakan salah satu sanksinya adalah meminta warga membantu menguburkan jasad korban Covid-19.

Warga yang melanggar diminta menggali kuburan namun tidak disuruh memakamkan jenazah secara langsung. Namun, Hassan mengatakan bahwa penggalian kuburan sebagai hukuman akan ditangguhkan sementara setelah evaluasi dilakukan oleh timnya. “Mungkin terlalu traumatis, jadi kami akan kembali pada hukuman pekerjaan sosial sesuai aturan,” ujarnya.(pin/kom)