Saya tahu dokter Purwati tekun sekali mendalami masalah sel. Termasuk bagaimana dia bisa memilih satu sel terbaik dari diri kita masing-masing. Untuk kemudian dia ”ternakkan” menjadi 200 juta sel –yang semua adalah sel yang sempurna. Lalu dimasukkan kembali ke tubuh kita. Itu untuk menggantikan sel-sel kita yang menua –baik karena umur maupun akibat proses pembelahan sel yang tidak sempurna.
Maka ketika saya membaca berita bahwa Unair menemukan obat cocktail untuk Covid-19, saya langsung menebak: pasti ada dokter Purwati di dalamnya. Tapi kok sulit dihubungi? Saya benar-benar jengkel.
Saya sudah biasa sangat kritis kepadanyi. Termasuk soal stem cell. Hal-hal yang sepele pun saya tanyakan. Kali itu pun saya akan mempertanyakan banyak hal tentang penemuan obat cocktail-nyi itu. Tapi tidak berhasil. Lalu keburu heboh. BPOM menganggap penemuan Unair itu belum memenuhi syarat sebuah penemuan.
Dokter Purwati kian sulit dihubungi. Juru bicara Unair pun diambil alih langsung oleh Rektor Unair sendiri, Prof Dr Mohammad Nasih, SE, MT, Ak, CMA. Saya enggan mewawancarai rektor. Yang ahli keuangan itu.
Beliau memang hebat. Baru kali ini ada rektor dipilih secara aklamasi. Tapi beliau bukan dokter. Apalagi ahli Covid. Saya ingin diskusi langsung dengan dokter Purwati. Tapi, rupanya, dokter Purwati sengaja ”disembunyikan”. Agar tidak menjadi sasaran heboh. Rektor menjadikan diri sebagai perisai. Rektor mengambil alih tanggung jawab itu. Maka saya pun tidak pernah menulis heboh-heboh itu.
Jiwa saya terbelah. Di satu sisi saya ingin memberikan apresiasi yang tinggi pada Unair dan pada dokter Purwati. Kalau obat cocktail itu ampuh, itulah jasa universitas kita yang terbaik di bidang Covid. Di sisi lain saya mendukung kehati-hatian lembaga pengawas obat dan makanan itu. Lalu saya melupakan penemuan Unair itu –sambil tetap jengkel ke dokter Purwati.