Menurut Gita, catatan pada dua pasal yang ditemukan menunjukkan bahwa produk legislasi tersebut merupakan buah dari penyusunan yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi. ”Ini merupakan konsekuensi yang harus kita terima karena pembahasan yang ugal-ugalan tersebut,” tegasnya.
Hal yang bisa dilakukan pemerintah saat ini, menurut PSHK, adalah koreksi redaksional. Gita juga mendorong pemerintah untuk menunda terlebih dahulu penerbitan peraturan turunan. Sebab, peraturan pokoknya belum tuntas dan beres. ”Ini kan ada lebih dari 400 peraturan pelaksana. Ditunda dulu sampai proses ini selesai di UU pokok,” tegas dia.
Gita juga menyinggung soal peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Meski Presiden Jokowi telah meneken UU Cipta Kerja, secara hukum perppu tetap bisa dikeluarkan untuk mengganti UU tersebut.
Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui masih ada hal yang dia sebut sebagai kesalahan teknis penulisan di UU Cipta Kerja. Meskipun, sejak menerima berkas dari DPR, pihaknya sudah me-review dan mendapati kesalahan teknis. Lalu, perbaikannya sudah disepakati dengan DPR.
”Kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” terangnya. Dia menyatakan, kekeliruan itu menjadi catatan dan masukan bagi Kemensetneg terkait dengan kendali kualitas RUU yang akan diundangkan.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak UU Cipta Kerja. Mereka meminta undang-undang tersebut dibatalkan atau dicabut.