Namun, apabila panik, kata dia, akan menimbulkan hormon stres. Saat mengalami stres, tertekan, atau terancam, area di otak yang disebut hipotalamus bertindak sebagai alarm.
Area ini mengeluarkan sejumlah perintah yang dirancang bagi tubuh untuk bersiap-siap melawan atau menghindar dikenal sebagai respons fight or flight.
Bagian pertama yang menerima sinyal ini adalah kelenjar adrenal yang lalu mengeluarkan hormon adrenalin. Selanjutnya, hormon ini membuat jantung berdebar dan frekuensi napas meningkat.
Gejala lain yang muncul akibat peningkatan adrenalin yakni kaku otot di area leher, bahu, dan rahang. Keringat tiba-tiba bercucuran, timbul sakit kepala, dan gangguan saluran cerna seperti mual, nyeri ulu hati, diare, konstipasi, perubahan selera makan (baik meningkat maupun menurun), munculnya jerawat dan rasa gatal di tubuh, rasa lelah yang tak biasa, terdapat gangguan tidur, gangguan haid, hingga gairah seksual yang menurun.
Selain adrenalin, tubuh juga mengeluarkan hormon kortisol sebagai respons terhadap stres. Hormon ini memicu peningkatan kadar gula darah.
Di otak, kortisol terikat dengan sel-sel saraf serta memengaruhi proses berpikir, termasuk bagaimana situasi-situasi yang membuat stres direkam dalam ingatan.
Keberadaan hormon ini dapat menjelaskan mengapa seseorang mampu mengingat situasi yang amat traumatis atau emosional dengan sangat jelas.