Tapi dalam praktiknya nanti lebih rendah dari itu. Angka 95 persen tersebut berdasar dari orang yang menjalani uji coba. Padahal orang yang ikut uji coba itu adalah orang yang sudah diseleksi. Sedang pengguna vaksin nanti adalah masyarakat umum yang kondisinya beraneka ria.
Dari angka 95 persen itulah muncul gambaran bahwa izin itu pasti segera dikeluarkan. Mengapa? Angka 95 persen itu sudah jauh di atas yang dijanjikan. FDA sudah berjanji mempercepat izin bagi produsen yang mampu menemukan vaksin, pun bila efektivitasnya hanya di atas 50 persen. Itulah komitmen FDA yang disampaikan dalam rapat-rapat Operasi WS.
Tiongkok kelihatannya belum berani ”jalan” sebelum penemuannya itu disetujui oleh WHO – -badan kesehatan dunia. Padahal Tiongkok sudah lebih dulu menemukan vaksin Covid-19. Bahkan tiga perusahaan sekaligus berlomba mencapai garis finis di ujicoba tahap tiga.
Indonesia, yang sudah telanjur memutuskan menggunakan vaksin dari Tiongkok, kelihatannya juga masih terjebak di izin WHO itu. Indonesia pasti tidak berani melakukan vaksinasi sebelum ada izin WHO itu.
Kembali ke Amerika. Bagaimana bisa sudah bisa melakukan vaksinasi di bulan Januari? Bukankah izinnya baru akan keluar sebelum Natal? Kapan bangun pabriknya? Kapan pula memproduksinya? Di situlah peran Jenderal Gustave F Perna. Operasi WS yang ia pimpin itu berani mengambil risiko ”rugi uang” asal tidak rugi waktu.
Ketika pabrik-pabrik tersebut masih di tahap riset, operasi WS sudah menggelontorkan uang untuk membangun pabrik. Lengkap dengan mesin-mesin produksinya. Memang pabrik dan mesin itu akan sia-sia kalau vaksin tidak berhasil ditemukan. Tapi itulah yang namanya risiko.