Pecel Impor

0
71

Ternyata saya juga makan barang impor. Bahkan impornya pakai sembunyi di balik baju pecel. Tidak terang-terangan seperti McDonald. Saya pun waswas. Jangan-jangan cabainya juga impor. Jangan-jangan daun jeruk purutnya juga impor. Begitu juga asam Jawanya. Dan kencurnya. Dan garamnya. Dan gula merahnya –itulah nama-nama bumbu pecel.

Alhamdulillah cabainya ternyata masih dari Kediri. Daun jeruk purutnya masih dari Tulungagung. Dan asam Jawanya masih dari Kupang, NTT. Harusnya orang NTT protes kenapa asamnya masih disebut asam Jawa.

Hanya gulanya yang harus hati-hati. Gula merah zaman sekarang ternyata sudah banyak yang dibuat dari gula rafinasi –yang impor itu. Warna merahnya hanya campuran. “Kalau yang saya pakai ini masih asli. Membelinya memang harus hati-hati. Kalau yang merahnya cantik itu bahan bakunya gula rafinasi,” ujar pimpinan pabrik itu.

Produksi pecel di pabrik tersebut mencapai 30 ton sebulan. Saya bangga. Ternyata masih banyak yang suka pecel. Saya pun melihat sebuah tronton merapat ke depan gudang. Tronton itu akan memuat pecel. Ups… Pecel kok sebanyak satu tronton. “Itu jurusan Jakarta,” ujar I Ketut Ciptawan Wathin, penerus pemilik pabrik pecel itu.

Wathin adalah anak Kho Kek Hui, orang Medan pendiri pabrik pecel itu. Kho adalah orang yang merantau ke Surabaya untuk pertobatan hidup. Ternyata tidak hanya bisa jadi orang baik. Bahkan bisa sukses. Kisahnya akan dimuat secara bersambung di Harian Disway.

Waktu kecil, pecel itu barang mewah bagi saya. Tidak mudah untuk bisa makan pecel. Saya baru dibelikan pecel kalau habis sakit. Kadang saya sampai pengin sakit agar dibelikan pecel.