Nyatanya juga tidak berhasil.
Lalu ada pemikiran baru: melirik lahan Perhutani. Yang secara data banyak telantar. Tidak produktif. Yang secara statistik luasnya ratusan ribu hektare. Bahkan jutaan hektare.
Tapi setelah dicoba, nyatanya hanya mendapat 200 hektare. Itu di Bojonegoro.
Pun tetap dicoba. Berhasil. Bisa 3 ton/hektare. Tapi tidak bisa lagi lebih luas dari itu. Dan tidak ekonomis untuk didirikan pabrik kacang di dekatnya.
“Sebenarnya berapa pun produksi kacang dalam negeri masih bisa diserap oleh pabrik kacang seperti kami,” ujar Sudhamek –yang juga ketua ”dewan syura” Permabudhi (Persatuan Masyarakat Buddha Indonesia) itu.
Kesempatan menyejahterakan petani lewat kacang tanah masih terbuka. Lihatlah harga kacang di toko-toko: Rp 50.000/bungkus. Yang isinya tidak sampai 1 kg. Padahal harga kacang hanya Rp 6.000/kg. Berarti kalau sejumlah petani bergabung dalam suatu korporasi pasti hebat. Sekalian punya pabrik pengolahnya. Agar harga Rp 6.000 itu bisa berlipat-lipat.
Tentu sebenarnya bukan hanya kacang tanah yang penggarapannya sudah harus beralih secara korporasi. Petani sudah harus bersatu dalam sebuah usaha bersama. Sudah banyak yang menyadari itu. Tinggal siapa yang harus memulai. Tempulu belum kapital besar yang kelak akan menggantikannya.
Saya pun menjadi sadar bahwa kebiasaan saya makan pecel ternyata ikut menghabiskan devisa. (dahlan iskan)