Contoh kata yang pernah diviralkan yaitu kata “anjaay” (gpp kan bahas ini? Sedikit kok, jangan di skip ya). Kata anjay itu bentuk eufemisme, itu penghalusan dari kata anjing, karena anjing itu hewan berkaki empat (silakan deskripsikan sendiri tentang hewan ini).
Kata anjing itu sendiri di semantik, kalau dibuka di kamus, apakah di kamus ada makian? Tentu saja tidak, tapi jika diucapkan oleh seseorang tentu ini lain soal. Naah sampai di sini saja bahas bahasanya ya.
Oke kembali lagi ke percaya diri. Ketika guru mengajar, jika tidak punya kepercayaan diri yang penuh, bisa dipastikan apa yang ada di benaknya ketika sudah siap mengajar akan hilang sebagian atau bahkan seluruhnya, misal intonasi datar sampai terasa garing walaupun pelajarannya tentang anekdot. Ttidak tahu apa yang akan disampaikan. Tidak tahu jadwal kapan dan di kelas mana harus mengajar.
Penampilan berantakan, (maaf) aroma khas manusia sedang banyak masalah (memang aromanya seperti apa ya?), salah kostum, harusnya pakai seragam formal malah pakai seragam FOR MALL (paham kan?) Yah pokoknya kalau seorang guru sudah terlihat tidak siap mengajar baik dari segi ilmu dan penampilan bisa dipastikan siswanya kurang atau bahkan tidak menghargai. Minimal mereka mengikuti (maaf bukan buruk sangka ya) apa yang diucapkan gurunya, entah itu yang baik atau yang buruk sekalipun.
Nah… makanya kita sebagai guru harus banyak berkaca atau kata lainnya instrospeksi. Selain pendidikan yang mereka dapatkan di keluarga, lingkungan, pergaulan, kita sebagai guru juga secara tidak langsung atau tidak langsung ikut mewarnai siswa kita.
Di sisi lain, seorang guru juga tidak perlu over convidence atau terlalu pe-de, terlalu yakin bahwa siswanya sudah pintar semua sehingga tidak perlu membahas pelajaran, cukup mengabsen, ngobrol sebentar basa-basi, kasih catatan, lalu tinggalkan untuk santai sambil baca akun gosip atau sekedar lihat-lihat barang apa yang sedang promosi, dan lihat postingan foto-foto orang yang dikenal di akun media sosial.
Tidak terasa bel sudah berbunyi dan hanya kata-kata “oke anak-anak sampai di sini dulu pelajaran kita hari ini, sampai jumpa besok”. Muridnya yang rajin belajar hanya termangu dan garuk-garuk kepala tak gatal, sambil mengejar guru tersebut dan bilang “ pak/bu ini dikumpulkan kapan tugasnya?” jawab gurunya “terserah” atau “besok pagi teng jam 7 sebelum bel” Oalaah… bagi siswa yang kurang rajin belajar hanya bisa pasrah sambil memutar mutar pulpen sambil mikir “jajan mi ayam enak kayaknya, masalah tugas masa bodo, wong dia sendiri tidak mengerti pelajarannya, paling-paling juga nanti diomelin guru itu tapi tetap dapat nilai kok”, begitu pikirnya.
Belum lagi tentang penampilan. Saking terlalu pe-de, yang harusnya pakai pakaian formal dan ingin dianggap beda dari yang lain, sampai ingin jadi trendsetter, pakailah guru itu baju buat kondangan. Ala-ala cetar membahana ulala (maaf senior, saya pakai bahasanya ya, kalau pinjam kan harus dikembalikan, nanti repot saya).
Eits jangan protes wahai warganet, beliau yang pakai jargon itu memang senior saya di kampus ternama di Bogor, hehe… Sampai mana tadi? Oya baju kondangan.
Kalau pakai batik atau jas ketika mengajar cocok tak? Masih pantaslaah, tapi kalau pakai brukat dan songket (kecuali hari Karitni bolehlah ya), sanggulan, make-up yang waduuuh… (maaf) seperti pulang dari sasana tinju dan habis makan buah bit atau naga.
Kalau saya bilang seperti vampire yang habis sedot darah serem juga saking membaranya itu bibir atau pakai minyak nyongnyong yang masih 3 meter jauhnya sudah tercium baunya. Pas gurunya sampi kelas, muridnya lansung pingsan.
Yaah begitulah sekelumit tentang Sarjana Percaya Diri eh Sarjana Pendidikan. Semoga menjadi bahan renungan para guru yang bukan hanya bisa mengajar, tapi juga mendidik.
Semua orang bisa mengajar tapi belum tetu bisa mendidik. Mari kita didik murid-murid kita dengan baik dengan hanya mengharap pahala dan ridho dari Allah SWT, bukan hanya sekadar mengharap upah yang (semoga) layak, karena saya yakin diantara murid itu ada salah satunya yang menarik kita ke syurga. Aamiin yra.. Tulisan ini belum selesai sampai di sini, masih ada bagian 2 nya. Ditunggu ya. Terima kasih.(*)
Penulis: Riri Nuwulandari, S. Pd.