“Lobster itu produksi (netas) rutin. Minyak dan mineral perlu jutaan tahun. Kok enggak dilarang? Tambang bisnisnya orang kaya. Lobster bisnisnya nelayan miskin. Kok rakyat dilarang? Laut itu luas, tiga kali daratan. Manusia aja kita gagal hitung apalagi lobster,” ungkapnya seperti dikutip dari akun Twitter, Minggu (5/7/2020).
“Kita lupakan masa lalu tapi kita harus berbuat yang lebih baik. Pengusaha sekarang diwajibkan bikin budidaya. Negara dapat pemasukan, nelayan dapat penghasilan, pengusaha menjadi mitra,” ucapnya.
Sementara, terkait alasan benih lobster yang diekspor dan tidak menunggu besar seperti yang menjadi alasan sebelumnya, kata dia, budidaya tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Sama dengan pertanyaan kenapa emas tidak jadi cincin dulu, kayu tidak jadi lemari dulu, CPO tidak jadi sabun dulu. Lobster lebih khas lagi. Benurnya mati lebih dari 90 persen jadi makanan ikan atau tidak survive. Diselamatkan,” ungkap Fahri.
Selain itu, Fahri juga mengaku, bisnis lobster bukanlah hal yang baru baginya. Selain menjadi seorang politikus, dia juga menjalankan bisnis lobster sejak lama bersama keluarganya.
Meskipun demikian, Fahri menyebut dirinya baru menggeluti bisnis tersebut setelah tak lagi berada di posisi sebagai pejabat. Dia mengaku menjadi pebisnis setelah pensiun di pemerintahan sejak 1 Oktober 2019.