Penulis : Riri Nurwulandari
DALAM tulisan saya sebelumnya, saya membahas tentang gelar Sarjana Pendidikan yang saya perluas maknanya (bukan diplesetkan ya,- padahal memang iya-) menjadi Sarjana Percaya Diri. Nah kali ini saya akan membahas hal serupa, tapi tak sama tentang S. Pd.
Dulu saya perluas maknanya menjadi Sarjana Percaya Diri ketika kuliah. Nah, sekarang sudah lulus dan mengabdikan diri menjadi guru saya perluas lagi maknanya (kata perluas itu versi saya lho ya, bukan bermaksud mengubah arti Sarjana Pendidikan yang terhormat itu, mohon maaf jika saya salah) menjadi Penuh Dedikasi atau Sarjana Penuh Dedikasi (tadinya sih saya mau menulisnya jadi Penuh Derita, tapi khawatir menimbulkan huru-hara yang harusnya tulisan saya ini menumbuhkan spirit dan motivasi, nanti malah repot urusannya, hehe).
Yap benar.. seorang S. Pd. yang sudah menjadi guru selain harus percaya diri juga harus penuh dedikasi. Kalau menurut kamus sih kata dedikasi itu terdiri atas empat suku kata yaitu de.di.ka.si/dedikasi/ yang artinya pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia; pengabdian;.
Nah sampai sini sudah jelas itu kalimatnya, tapi baiklah akan saya perluas kembali cakupan maknanya agar semua guru yang baca tulisan saya (mudah-mudahan) merasa terobati (lho kok terobati? Memangnya sakit apa?).
Hmmm…baiklah…dedikasi yang pertama adalah pengorbanan tenaga. Semua pekerjaan apapun profesinya pasti mengorbankan tenaga. Pastilah ya. Mulai dari berangkat ke sekolah sampai kembali lagi ke rumah. Belum lagi yang mengabdi di pedalaman atau perbatasan wilayah NKRI, aah sulit dibayangkan betapa pengorbanan mereka sungguh luar biasa.
Kita semua pasti sudah paham betul bagaimana kondisi di wilayah tersebut. Saya yang tinggal jalan sedikit dan naik kendaraan pribadi versi saya, tapi harus membayar sejumlah uang setiap kali saya turun kepada pengemudi yang setiap hari ganti, keren kan saya? (bilang saja angkot). Terkadang harus menunggu atau macet. Saya masih banyak mengeluh. Padahal tinggal duduk manis dan menikmati perjalanan yang tidak sampai berjam-jam.
Dedikasi yang kedua adalah pengorbanan pikiran. Woow saya bersemangat pas bagian ini, karena apa? Karena guru itu pekerja borongan, iyaa borongan. Semuanya diborong, semuanya bisa. Bahasa kerennya multi talent, multi tasking, atau apalah penyebutannya pokoknya harus segala bisa.
Pernah tidak Anda nonton film atau sinetron yang salah satu pemerannya ada yang merangkap jadi sutradara, saya anggap pernah lah ya. Nah artinya guru itu penulis naskah handal yang dituangkan dalam bentuk RPP, Silabus, Prota, Prosem, dan lain-lain (jujur bikin mual kalau harus buat dan ngetik sendiri tanpa dibantu rekan guru lain) yang banyak dan berlembar-lembar, tapi sekarang sudah disederhanakan menjadi satu lembar saja. Bisa kebayang kan betapa multi talent-nya guru itu.
Mungkin semua berpendapat bahwa tidak hanya guru yang multi talent, tapi semua profesi sama. Oke ada benarnya juga, tapi ada tidak profesi selain guru yang merencanakan program untuk menghadapi banyak orang. Hayooo… hmmm… ada? (ada bu, wedding orgnizer. Hmm… emot pegand dagu dengan jempol dan telunjuk, sambil mata menlirik ke atas, -langsung dipraktikkan-).
Jadi yang dihadapi itu manusia bukan mesin, kertas, apalagi pohon (jangan bayangkan guru mengajar pohon ya, tapi kata pak suami ada juga yang suka bicara sama pohon, tapi gak enak ah ngomongnya kalau di sini. Eits ini bukan profesi, tapi yaa… hampura hehe).
Selanjutnya guru itu berperan sebagai artisnya. Harus mengajar penuh keceriaan, tapi jangan banyak tertawa lho ya. Apalagi kalau tidak ada yang lucu, percaya diri (bahasan ini ada di bagian pertama yaa), dan jangan sampai terlihat sedang ada masalah apapun di depan murid-muridnya.
Belum lagi ketika pengolahan nilai. Namanya juga ngolah, pusing iyaa, mumet pasti, lieur. Ooh guru banget. Pas akan bagi rapot apalagi, beuh semua tumpah jadi satu, harus bisa IT pula (kalau saya sih jujur agak kurang bersahabat nih sama IT, tapi tidak lantas malu bertanya dong, soalnya kalau malu bertanya bakal sesat di komputer). Jangan tanya bagaimana riweuh-nya yang punya balita (salut dengan emak-emak guru yang super power).
Hmmm mantap… tapi guru tidak ada yang kapok melakukannya, tetap dijalani, tetap tepat waktu mengerjakannya, dibawa enjoy aja kalau istilah murid saya bilang. Jadi kalau guru itu akan mengajar tidak ujug-ujug masuk kelas, casciscus cuap-cuap gak jelas, lalu pulang.
Ternyata ada perencanaannya lho. Menurut Anda sulit atau susah? (lho kok pertannyaannya tidak ada pilihan? Berarti tidak mudah dong).
Hayooo jawab yang suka berprasangka buruk terhadap guru atau suka menilai guru itu gak becus mengajar yang cuma magabut alias makan gaji buta, yang suka bilang guru mah enak banyak liburnya, murid libur ikut libur (ya iyalah masa murid libur kita ngajar, kecuali murid libur kita rapat, hehe).
Hayooo buat para murid yang betapa pun kalian malas mengerjakan tugas dan nilainya luar biasa, sampai bisa jadi tangga nada lagu, tapi di rapot nilainya tetap di atas KKM? Masih mau memusuhi guru?.
Kalau sistem komputer yang mengolah nilai tentu banyak yang tidak naik kelas (mungkin), tapi karena kasih sayang gurulah kalian bisa seperti ini. Apa pernah kalian sebagai murid tahu proses seperti itu yang hanya sebagian kecil saja?. Guru menilai tidak hanya dengan ilmu, tapi dengan hati, jiwa, dan raga. Selamat Hari Guru.
Guru pahlawan dengan banyak jasa tanpa ada tanda. Terimakasih untuk seluruh guru, terutama kepada guru-guru yang pernah mengajar saya. Semoga masih ingat saya, lop yu pull.
Nanti ada bagian 3 –nya. Tunggu ya. (*)