BOGOR-RADAR BOGOR, Ide bisa datang kapan saja tanpa disangka-sangka. Hal itulah yang dialami Fani saat memulai tekadnya mengembangkan Keripik Minul.
FANI harus berpikir keras bagaimana membuat camilan untuk anak-anaknya. Sedari tadi, anaknya meminta untuk mengisi perut. Cuaca di luar juga sedang hujan cukup lebat. Tak mungkin baginya untuk beranjak keluar rumah mencari makanan ringan.
Matanya menyapu seisi dapur. Tak ada tanda-tanda bahan makanan yang bisa diolah menjadi camilan. Tepung terigu, sisa-sisa bahan masakan sebelumnya menjadi satu-satunya pelarian. Ia pun mengolah bahan dasar tepung terigu itu menjadi gorengan untuk ngemil sang anak.
Sayangnya, ia mencampurkan air cukup banyak. Adonan tepung terigu pun jadi encer. Ia kelabakan dan kebingungan karena tak ada bahan lain tersisa. Dengan berat hati, ia coba saja menuangkan adonan encer itu ke atas teflon. “Lha, kok jadi kayak kulit lumpia?” gumamnya heran.
Kompor belum sempat dimatikan ketika anaknya, Nadifa, datang menghampiri di dapur. Ia penasaran dengan masakan sang ibu. Ikut nimbrung, Nadifa langsung mengusulkan ide yang tak pernah terpikirkan oleh Fani. Keduanya pun berduet dengan melakukan eksperimen kecil-kecilan di dapur.
Seperti itulah awal mula camilan Keripik Minul yang diproduksi Fani sebagai bagian dari kegiatan UMKM-nya. Ia justru mendapatkan ide jualan itu dari anaknya, Nadifa. “Dia yang ngasih ide, coba pakai ini, pakai itu. Saya sendiri tidak kepikiran. Justru dia yang ngasih saya banyak ide,” tutur Fani di redaksi Radar Bogor.
Eksperimen dapur itu menguatkan hati Fani untuk terus memproduksi camilan yang sama. Ia juga tengah dirundung permasalahan ekonomi karena sang suami kala itu sedang sakit. Sedangkan, usaha kecil-kecilan berjualan di rumah yang dilakoninya juga tidak menghasilkan banyak perkembangan.
Jajanan berupa keripik itulah yang terbukti punya nilai jual yang cukup luas. Ia bisa menitipkannya ke warung-warung, sembari tetap memenuhi keinginan ngemil sang anak.
“Awalnya gak kepikiran bikin usaha seperti ini. Cuma karena waktu itu suami pindah kerja, tanggungan anak-anak semakin banyak, makanya saya berpikir bagaimana mendapatkan penghasilan tambahan, tanpa menyusahkan suami,” papar perempuan beranak tiga ini.
Produk yang dilabelinya dengan nama panggilan masa kecil itu ternyata cukup populer. Seiring waktu, ia harus meningkatkan kemampuan pembuatan keripik itu. Semula, ia hanya bisa membuat bahan dasar hingga 20 lembar kulit lumpia per hari. Kini, pembuatan 50 lembar kulit lumpia itu bisa dikerjakannya dalam sehari.
“Sebenarnya, untuk bikin ini, bukan modal yang harus dimiliki. Akan tetapi, kesabaran. Karena memang prosesnya (untuk menghasilkan kualitas baik) yang lama banget. Saya ingin beda dari yang lain, harga tidak terlalu mahal dan bisa dikonsumsi semua kalangan,” tuturnya.
Usahanya itu semakin terdongkrak setelah ia bergabung bersama UMKM lain di bawah bayung Dinas Koperasi dan UMKM (Diskop) Kota Bogor. Ia belajar banyak soal pengalaman, pemasaran, hingga kemitraan. Bahkan, ia bisa menjumpai banyak pelaku usaha lain yang punya spirit perjuangan yang sama. Hal itu memberikan motivasi tersendiri bagi Fani.
Apalagi, Fani sendiri merasakan bagaimana susah payahnya ia memulai usaha itu. Ia harus mengalami siksa batin karena cibiran dari kerabat atau keluarganya. Perang batin itu ia simpan sendiri dan berbuah tekad yang membara untuk membuktikan kemandiriannya.
“Kadang-kadang kalau jadi ibu, ya risikonya selalu disalahin ya. Sekarang yang saya lihat ini cuma masa depan buat anak-anak saja. Nih, usaha bunda buat kalian semua. Makanya sekarang saya lagi fokus ke usaha ini, buat anak-anak juga,” tegasnya. (mam/c)