KPK Duga Bukan Hanya Calon Besan Ketua MPR yang Menyuap Edhy Prabowo

0
27
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjalan menuju ruang konferensi pers usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/11/2020) dini hari.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo berjalan menuju ruang konferensi pers usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/11/2020) dini hari. Dery Ridwasah/ JawaPos.com

JAKARTA-RADAR BOGOR, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga, Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito bukanlah satu-satunya eksportir benih lobster atau benur yang memberikan suap kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan  Edhy Prabowo.

Diduga terdapat pihak lainnya yang juga memberikan suap kepada Edhy, untuk memuluskan pengiriman benih lobster ke luar negeri.

Berdasarkan hasil penelusuran KPK, Suharjito yang merupakan calon besan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo baru memberikan suap sekitar Rp 2 miliar.

Rinciannya, sekitar Rp 731 juta yang ditransfer ke rekening PT Aero Citra Kargo (ACK) dan USD 100.000 yang diduga diberikan Suharjito kepada Edhy Prabowo melalui staf khususnya, Safri dan Amiril Mukminin, seorang pihak swasta.

“Karena satu pemberi saja (Suharjito) polanya seperti ini dan dari rekening yang ada saja kan jumlahnya melebihi Rp 1,5 (Rp 1,5 miliar), tentunya akan ada pemberi-pemberi yang lain,” kata Ketua Deputi Penindakan KPK Karyoto, Kamis (26/11/2020) malam.

KPK menduga pada rekening PT ACK telah terkumpul setoran dari sejumlah perusahaan ekspor benur sebesar Rp 9,8 miliar. Uang itu kemudian ditarik dan dimasukkan ke rekening Amiril Mukminin dan Ahmad Bahtiar yang menjadi nominee atau dipinjam namanya oleh Edhy Prabowo dalam kepengurusan PT ACK.

Jenderal polisi bintang dua ini memastikan, KPK bakal mengembangkan kasus dugaan suap ekspor benur. Selain memeriksa para saksi, termasuk dari unsur eksportir, tim penyidik juga bakal menggali dokumen dan data serta transaksi elektronik yang berkaitan dengan sengkarut izin ekspor benur.

“Prinsipnya begini, nanti pada saat pengembangan penyidikan, tentunya kami akan menggali informasi berupa dokumen dan data baik dari beberapa transaksi elektronik yang kita kembangkan,” tegas Karyoto.

Menurut Karyoto, dalam pengembangan kasus ini tidak menutup kemungkinan, lembaga antirasuah bakal menetapkan tersangka baru sepanjang ditemukan bukti permulaan yang cukup. Dia menduga, dugaan suap ekspor benih lobster tidak hanya dilakukan oleh Suharjito kepada Edhy Prabowo.

“Akan kita informasikan pada hasil penyidikan berikutnya, apakah ada tersangka baru atau tidak. Karena dari proses ,bukan hanya orang-orang ini (tersangka) saja yang terlibat, tetapi orang-orang ini yang dominan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan proses perizinan maupun pengumpulan uang,” pungkas Karyoto.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan non aktif Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait perizinan tambak usaha atau pengelolaan perikanan komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya yang juga terseret dalam kasus ekspor benih lobster atau benur.

Mereka yang ditetapkan tersangka penerima suap yakni Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP; Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK); Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP; dan Amiril Mukminin selaku swasta. Sementara diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP).

KPK menduga, Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp 10,2 miliar dan USD 100.000 dari Suharjito.

Suap tersebut diberikan agar Edhy selaku Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama, untuk menerima izin sebagai eksportir benih lobster atau benur.

Keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (jpg)