Pura-pura Lupa

0
45

Penulis: Riri Nurwandari

Jemari ini agak terhenti sejenak menyentuh tuts/ tombol huruf ketika sayup sayup terdengar lagu Pura-pura Lupa-nya mas Mahen (ini serius saya baru dengar dan iramanya bikin termenung, kalau lirik mah saya gak akan komentari). Sambil mikir juga sih mau nulis apa ya kali ini. Judulnya sih tadinya Pede Pede Terus.

Kalau Anda pernah baca tulisan saya sebelumnya pasti paham, tapi baiklah akan dibahas sekilas saja (kasihan kalau yang belum baca takut hidup penasaran).

Pede yang pertama tentang percaya diri. Pede yang kedua tentang penuh dedikasi. Kalau semakin penasaran silakan baca saja ya. Asik kok buat Anda yang berprofesi sebagai pendidik (pede banget bilang asik ke tulisan sendiri, hehe).

Baiklah sudah muncul nih idenya dari judul lagu tadi, Pura Pura Lupa. Saya tidak akan bahas liriknya lho ya. Artikel saya kali ini akan dimulai dari kalimat sakti “Bersyukur adalah cara terbaik megobati hati yang sedang gundah memikirkan nasib“.

Buat sebagian besar orang termasuk saya sepertinya kalimat itu agak sulit dipraktikkan ya, tapi kalau saya bahas besyukur juga bukan kapasitas saya. Saya bahas realitanya saja deh.

Sambil terkantuk- kantuk cantik saya teringat beberapa kejadian di sekitar saya. Mulai dari beberapa orang yang –sepertinya- sedang diskusi tetang upah yang belum diterima, padahal sudah bekerja sesuai permintaan majikan karena alasan klasik, majikan bangkrut karena pandemi.

Ih luar biasa ya pak pandemi ini bisa mengubah seluruh dunia, bahkan menurut sumber literasi yang saya baca, pak pandemi ini bakal berubah jadi bu sindemi (tentang apa dan siapa bu sindemi ini saya tidak akan bahas, agak merinding dengarnya juga, mungkin Anda bisa tanyakan kepada mbah andalan Anda ).

Ah pasangaan macam apa itu sampai bisa membuat sang majikan tidak membayar upah pekerjanya. Kemudian saya amati lagi ada sekelompok orang yang ribut tentang menentukan pakai seragam apakah besok dan beberapa topik lain yang menurut saya kurang penting dibahas.

Saya anggap kurang penting karena isinya hanya keluhan dan menurut saya tidak etis membahas keluhan kepada orang lain yang dianngap teman. Tapi.. .setelah mengamati agak lama, saya tertegun sejenak, ternyata semua yang mereka diskusikan itu kok ya ada benarnya juga.

Di mobil prbadi yang biasa saya naiki secara berjamaah (kenapa sih tidak bilang angkot saja?) driver-nya (sopir..ehem) mengeluhkan pendapatan yang jauh berkurang sebelum pak pandemi datang, ditimpali oleh tuan dan nyonya di belakangnya (penumpang…ehem) dengan keluhan dan umpatan kepada pak pandemi.

Katanya kenapa sih datang ke Indonesia hanya utuk mengacaukan kita, saya jadi tidak bisa buka kantin lagi di sekolah karena anak-anaknya dipaksa libur sama sekolahnya (dipaksa versi mereka lho ya..).

Belum lagi ada nyonya (emak-emak…ehem) yang bilang bahwa anaknya sudah stres belajar di rumah terus, tidak mengertilah, tidak ada sinyallah, tidak ada quotalah (yakin bukan ibunya yang stres harus ngajarin anaknya? Hehe).

Nah giliran driver menimpali lagi, betul itu nyonya (bu…ehem), “Saya biasanya setoran ke atasan pul (bos yang punya mobil…ehem), karena banyaknya kan yang naek anak sekolah ya, saya mah lieur. Buat setoran aja kurang keneh.

Belum lagi buat ke dapur, nya untungnya we istri saya mah gak banyak nungtut” (bukan gak banyak nuntut pak… percuma bilang minta ini itu ge gak akan dibeliin, pikir istrinya).

Yaah begitulah suasana pagi di dalam mobil luas saya. Mobil yang bisa duduk berjamaah. Kalau malam saya biasa menyebutnya dengan aquarium, karena terang dan bisa terlihat dari luar siapa ikanny, eh penumpangnya.

Rutinitas pagi ketika saya akan berangkat kuli ini sayang untuk dilewati, mereka pernah bilang begini “Kalau ibu mah enak kerja ada yang ngegajih, gak usah mikir besok gimana, udah ada yang ngejamin” dan sederet kalimat perbandingan lainnya yang ditujukan kepada orang-orang yang berpakaian rapi, tiap pagi berangkat, pulang sore.

Dalam hati saya, kami pun merasakan hal yang sama saudara-saudara, bahkan saya malah ingin membalikkan opini seperti itu, mereka itu harusnya bersyukur, tidak usah harap-harap cemas menunggu tanggal pembagian honor yang entah tanggal berapa turunnya.

Setiap honor (upah…ehem) yang mereka terima langsung didapat setelah bekerja rasanya sebelum keringatnya kering mereka sudah bisa menikmati hasil keringatnya. Menurut saya itu keren.

Sesungguhnya Allah Subhanahuwata’ala sudah berjanji kepada hamba-Nya bahwa penghidupan mereka akan dijamin, bahkan seekor burung kecil pun akan mendapatkan rezekinya di setiap pagi manakala mereka mau mencarinya.

Semua makhluk di muka bumi ini akan mendapatkan rezekinya sesuai dengan yang diusahakannya. Sesungguhnya kita pura-pura lupa bahwa kita semua terjamin selama kita masih hidup.

Pura-pura lupa bahwa nikmat yang kita terima sungguh sangat banyak. Seringkali kita tidak bersyukur dengan nikmat yang kita terima dan selalu ingin menukar nikmat kita dengan nikmat yang orang lain terima. (jleb… agak serius nih kalimatnya).

Jujur dan manusiawi sekali ketika kita berharap hasil kerja kita berupa upah diberikan sesuai dengan standar kelayakan di negeri orang lain misalnya, atau tidak usah ada hitungan jam, lembur, tips, bonus, dan lan-lain yang intinya tidak perlu kerja berat dan susah payah tapi kita mendapat upah yang luar biasa banyak.

Apakah ada pekerjaan seperti itu?. Hanya duduk manis, diam tanpa banyak bicara, bahkan sambil mendengarkan nyanyian indah (lebih tepatnya pemaparan atau pidato kali ya) sampai terlena dibuatnya hingga tanpa sadar tertidur bersandar di kursi empuk ditemani secangkir minuman dan beragam kudapan lezat, sambil membetulkan dasi dan stelan jas mahal, yang dirasa sangat menyusahkan karena dianggap terlalu sempit untuk ukuran perut buncitnya dan leher yang kepanasan karena lelah mengunyah makanan mahal di restoran terbaik.

Di awal bulan dengan tanggal digit satuan, akan menerima upah yang sangat besar karena isinya ada nominal untuk berbagai tunjangan yang mungkin tidak akan habis tujuh turunan sembilan tanjakan. Serius itu. Pokoknya terjamin dari urusan tutup kepala yang paling atas, sampai urusan alas kaki diinjak yang paling bawah.

Bahkan, ada pekerjaan yang hanya membubuhi tanda tangan saja bisa sangat bernilai tanpa batas nominal. Menurut Anda apakah ada pekerjaan seperti itu? (Wah sudah mulai serius ini saya jadi agak merinding dangdut nih).

Mungkin ini hanya halusinasi saya saja yang ingin memiliki pekerjaan seperti itu. Jika Anda menemukan pekerjaan seperti itu saya harap tidak perlu iri, hehe.

Karena biasanya pekerjaan seperti itu didapatkan dari hasil jerih dan payah sekali mendapatkannya (ups..maaf maksudnya jerih payah).

Harus mendapatkan restu dan dukungan penuh dari manusia bumi (lho memangnya pekerjaan ini ada di planet lain?). Yap benar dari manusia bumi, karena setelah mendapat restu dan dukungan nyanyian (suara maksudnya?) dari planet bumi, orang yang memiliki pekerjaan seperti itu akan pergi meninggalkan bumi.

Lupa dengan restu dan nyanyian orang bumi yang diberikan karena terbuai dengan harapan- harapan baik (kalau saya tulis janji agak riskan). Atau pura pura lupa? Wallahualam.

Wilujeng wayah kieu. Salam literasi. (*)