SAYA suka melihat pendeta Stephen Tong berceramah. Di YouTube. Enak diikuti. Ternyata seorang direksi saya yang Kristen juga sering mendengar ceramah Zainuddin MZ.
Tapi kali ini saya kaget. Kok Pak Tong terbawa teori konspirasi begitu dalam. Yang memang lagi melanda Amerika Serikat. Mungkin saja Pak Tong memang lebih tahu dari saya soal itu. Di ceramah tanggal 29 November 2020 itu Pak Tong seperti percaya banget bahwa Donald Trump-lah yang akhirnya akan dilantik sebagai Presiden terpilih Amerika tanggal 20 Januari depan. Bukan Joe Biden.
Kata Pak Tong, kini usaha untuk menggugat hasil Pemilu sedang dilakukan Trump. Akan sangat dramatik. Pak Tong menyebut seorang jaksa yang kini sangat gigih membongkar kecurangan Pemilu di sana. Nama jaksa itu Sidney Powell.
Rudy Giuliani dan Sidney Powell
Pak Tong menguraikan, betapa hebatnya Powell itu. Dijelaskan juga secara rinci, bagaimana urutan ”drama kecurangan” terjadi malam itu -di malam setelah pemungutan suara. Malam itu, hasil sementara penghitungan suara, dimenangkan Trump. Awalnya. Tiba-tiba keesokan harinya berbalik menjadi kemenangan Biden. Dijelaskan pula apa saja yang terjadi di antara waktu ”kemenangan” ke waktu ”kekalahan” itu. Yang hanya berlangsung beberapa jam itu.
Ceramah Pak Tong itu begitu meyakinkan. Saya sendiri, yang sangat intensif mengikuti perkembangan di Amerika, tidak memperoleh informasi sedetail yang diuraikan Pak Tong itu. Sepertinya beliau mendapat inside information.
Misalnya malam itu. Sebenarnya Biden sudah menyelundupkan suara banyak sekali. Tapi masih belum cukup untuk menutup kemenangan Trump. Menurut Pak Tong, Trump sebenarnya sudah memenangkan 400 lebih ”kursi” electoral collage. Padahal mendapat 270 saja sudah menang. Biden hanya mendapat kurang dari 100.
Maka, kata salah satu pendeta terhebat di Indonesia itu, perhitungan suara diubah menggunakan mesin. Mesinnya pun bukan sembarang mesin. Pak Tong bisa merinci sampai ke apa nama mesin hitung itu. Dan bikinan mana. Itulah mesin-hitung Dominion. Yang kini makin luas dipakai di Amerika. Terutama di Kanada.
Mesin itu, menurut para pembela Trump, buatan Tiongkok. Itu saya juga tidak tahu. Setahu saya mesin itu buatan Kanada. Suku cadangnya pun buatan Kanada. Ada sedikit buatan negara lain: Serbia.
Menurut Pak Tong, mesin hitung itu pernah dipakai di Venezuela. Dipakai oleh Hugo Chavez, almarhum. Agar penguasa diktator itu menang lagi. Diceritakan dengan detail bagaimana mesin itu sudah diatur agar nama ”Trump” terbaca sebagai ”Biden”. Sampai Biden menang.
Ceramah itu begitu meyakinkan ribuan orang yang hadir. Begitu rinci. Seolah ada fakta di tangannya. Itu yang saya benar-benar tidak tahu. Sepengetahuan saya malam itu Trump memang masih menang. Keesokan harinya Biden memang menyalip.
Tapi bukan karena mesin-hitung. Itu hanya semata-mata yang dihitung lebih dulu adalah suara hasil pencoblosan langsung di TPS. Pendukung Trump umumnya memang datang sendiri ke TPS. Mereka tidak takut Covid-19. Mereka taat pada anjuran Trump. Agar berbondong-bondong langsung ke TPS. Sambil mengawasi pelaksanaan Pemilu. Agar tidak dicurangi.
Suara di TPS itulah yang diprioritaskan dihitung lebih dulu. Maka untuk sementara Trump pun bisa menang. Setelah itu perhitungan suara dilanjutkan ke yang dikirim lewat pos. Mereka umumnya pendukung Biden. Yang sadar bahaya Covid-19. Yang mereka memilih mencoblos suara lewat pos.
Pak Tong termasuk yang percaya bahwa pokoknya Pemilu Amerika curang. Pokoknya lagi Trump itu hebat. Sebelum Trump, kata Pak Tong, Amerika itu sudah rusak. Sampai ada pendeta yang mengubah gereja menjadi tempat usaha pementasan tari yang tidak pakai celana. Itu agar sang pendeta bisa mendapat uang untuk melayani Tuhan.
Trump lah, kata beliau, yang bisa mengembalikan Amerika ke jalan Tuhan. Pak Tong juga menyebut bahwa Tiongkok yang dibilang maju itu sebenarnya tidak seperti itu. Ekonomi di Tiongkok lagi sangat sulit. Pabrik-pabrik tutup. Dan Xi Jinping begitu kejam menindas rakyatnya. Apalagi yang Kristen dan Islam.
“Masjid-masjid dihancurkan di Xinjiang. Ribuan. Ada yang paling besar dijadikan WC umum,” ujar Pak Tong.
Semua orang Kristen Indonesia mengenal pak Tong. Usianya sudah 80 tahun. Tapi kalau khotbah masih seperti 60 tahun. Jemaatnya ratusan ribu. Sampai 1,5 juta orang. Tidak hanya di Indonesia. Pak Tong sering berkhotbah di luar negeri. Termasuk di Amerika. Mungkin jaringan gerejanya yang luas itu yang memberikan Pak Tong inside information.
Banyak gereja di Amerika yang memang punya pikiran yang sama seperti itu. Mereka masih berharap Trump yang dilantik sebagai Presiden Amerika tanggal 20 Januari depan. Pak Tong memberikan keyakinan yang kuat pada jemaatnya seperti itu.
Masa kecil Pak Tong di Surabaya. Umur delapan tahun ia sudah mendapat pendidikan Kristen di gereja Tionghoa. Itulah gereja Tionghoa pertama di Surabaya. Yang mulai dirintis pada 1909. Lalu menjadi gereja beneran pada 1928.
Tempatnya di Jalan Bakmi Surabaya. Sekarang disebut Jalan Samudera. Di dekat Jalan Kembang Jepun. Di daerah pecinan di Surabaya Utara. Nama gereja itu Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH).
Awalnya, kebaktian di situ menggunakan dua bahasa. Kebaktian jam 09.00 menggunakan bahasa Hokkian. Kebaktian jam 12.00 berbahasa Kanton. Gereja itu lantas menjadi promotor berdirinya Sinode Gereja Abdel. Sampai sekarang.
Stephen Tong sendiri kemudian mendirikan sinode Reformed Evangelical Church of Indonesia. Yang pusatnya di Kemayoran, Jakarta, itu. Yang luasnya 5,6 hektare itu. Yang auditoriumnya bisa untuk kebaktian 5.000 orang. Itulah salah satu gereja Evangelico terbesar di dunia. Yang selesai dibangun tahun 2008. Yang desainnya dibuat sendiri oleh Stephen Tong.
Beliau memang seniman. Tepatnya musisi. Ia membina dan memiliki grup orkestra besar di Surabaya dan Jakarta. Stephen Tong kini membawahkan lebih 50 gereja di banyak negara. Termasuk di Singapura, Malaysia, Hongkong, Tiongkok, Australia, Jerman, Amerika, dan Kanada.
Sidney Powell yang diunggulkan oleh Pak Tong itu sendiri sebenarnya sudah diberhentikan. Sudah bukan lagi anggota tim pengacara resmi Trump. Dia dianggap tidak sejalan dengan tim yang diketuai mantan wali kota New York, Rudy Giuliani. Umur Sidney Powell 65 tahun. Biar pun tidak lagi dipakai Trump dia masih tetap gigih beredar ke mana-mana.
Belakangan dia lebih banyak tinggal di negara bagian Georgia. Pokoknya di mana politik panas dia ada di situ. Georgia memang lagi panas menghadapi Pemilu-ulang 5 Januari depan. Khusus untuk dua kursi Senat yang amat menentukan. Kini dari 100 kursi Senat yang 50 sudah dimenangkan Republik. Demokrat baru mendapat 48. Kalau dua kursi itu dimenangkan Republik maka Partai pendukung Trump itu kembali menguasai mayoritas Senat.
Biasanya, di Georgia, Republik yang menang. Kali ini lebih berimbang. Sidney Powell kini juga membentuk gerakan baru: Make Amerika Free Again, MAFA. Dengan topi merah seperti MAGA. Dia terlalu fanatik dengan Partai Republik. Sampai-sampai bisa merugikan partai itu sendiri.
Misalnya, kini dia lagi kampanye boikot Pemilu-ulang di Georgia. Agar pemilih jangan mau datang ke TPS 5 Januari nanti. Sebagai protes atas kecurangan Pemilu lalu. Tentu itu sangat merugikan caleg Republik –kalau mereka benar-benar tidak mau mencoblos.
Pokoknya nama Sidney Powell memang lagi ngetop. Tidak salah kalau Pak Tong ikut mengagumi. Dua hari lalu Sidney juga menggugat Pemilu di Georgia. Kali ini tidak ada hubungannya dengan Trump. Dia jalan sendiri. Dalam gugatannyi itu Sidney mengajukan bukti kecurangan yang dia persoalkan.
Apakah dia punya bukti konkrit? Kata Sidney, dia punya bukti. Ketika menyerahkan bukti itu ke pengadilan ternyata berupa surat pernyataan seseorang yang kini tinggal di Jepang: Ron Watkins. Yakni pernyataan bahwa Pemilu ini curang.
Ron Watkins dan bapaknya, Jim Watkins, adalah pemimpin gerakan teori konspirasi: bahwa sekarang ini ada iblis misterius lagi berusaha menghancurkan agama. Dan hanya Trump yang bisa menghancurkan gerakan misterius itu. (Dahlan Iskan)