SAYA sarankan jangan semua orang membaca Disway hari ini. Tulisan ini hanya berisi kenangan untuk seorang anak buah yang baru saja meninggal dunia.
Saya penuhi janji itu. Telat. Mas Parno sudah meninggal dunia. Rabu pagi lalu. Karena kanker pankreas. Di RSCM Jakarta. Putri beliau yang memberi tahu bahwa Mas Parno meninggal dunia. Dia mau menikah minggu depan.
Satu jam kemudian, saya meluncur ke kampung asal Mas Parno: Dusun Krajan, Desa Poncol, Kecamatan Sine, di lereng utara Gunung Lawu, Jatim. Saya tahu, kampung itu jauh sekali, pun dari kota terdekat: Ngawi. Tapi saya sudah berjanji suatu saat akan ke situ. Itulah kampung kelahiran kebanggaan Mas Parno.
Mas Parno adalah Direktur Utama PT WSM. Itulah holding company untuk sekitar 50 perusahaan koran, radio, televisi, media online, percetakan, pabrik pelet, dan tambak udang.
Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung, Cirebon, Tasikmalaya, Bandung, Tegal, Banyumas dan sekitarnya.
Hidupnya habis untuk keliling ke kota-kota itu. Untuk menemui para pimpinan unit usaha di sana. Tugas saya menjadi ringan karena Mas Parno bisa mengatasi semua masalah di grup itu.
Tapi Mas Parno masih ingat untuk selalu pulang ke kampungnya itu. Setidaknya setahun sekali. Untuk menemui orang tuanya –ketika masih hidup. Atau ke makam orang tua–ketika keduanya sudah meninggal dunia.
Setiap kali pulang ke kampung itu Mas Parno punya acara besar: mempraktikkan ilmu dalangnya. Ia pentas. Mas Parno memang dalang wayang kulit. Maka rumah orang tuanya itu ia bangun dengan konstruksi beton. Dengan tiang yang tingginya sama dengan rumah empat lantai. Itu karena rumah tersebut di lereng bukit. Sulit mendapat tanah datar –pun untuk hanya seluas rumah itu.
Posisi lantai yang paling atas pun baru sejajar dengan jalan berliku di lereng gunung itu. Maka lantai teratas tersebut justru menjadi seperti lapangan kecil. Di samping sebagai atap. Luasnya kira-kira 8 x 12 meter. Di pelataran itulah Mas Parno selalu menggelar wayang kulitnya.
Baru di bawah ”halaman” itulah rumah bapak-ibunya. Yang untuk ke rumah itu harus menuruni perengan gunung. Lewat jalan yang berkelok.
Di bawah atap itulah tiang-tiang beton tinggi menyangga rumah itu. Tapi tiang-tiang beton itu tidak menonjol. Kalah dengan pohon-pohon tinggi di kebun sekelilingnya. Saya tidak menyangka kampung Mas Parno seterpencil itu. Dulu, waktu saya berjanji suatu saat akan ke sana, saya pikir tidak sulit. Toh kampung kelahiran ayah saya juga di lereng utara Gunung Lawu. Sesekali saya masih ke kampung ayah saya itu: Gedangan, Jogorogo. Kapan-kapan sekalian mampir ke Poncol-nya Mas Parno.
Baru kemarin itu saya tahu bahwa Poncol masih satu jam bermobil dari kampung ayah saya. Dulu, saya pikir kampung ayah saya sudah yang paling terpencil. Yang untuk ke sana harus menyeberangi sungai. Dengan cara loncat-loncat batu di sela-sela aliran air. Waktu kecil saya suka BAB di sungai itu. Dengan cara jongkok. Kaki kiri dan kaki kanan bertumpu di batu yang berbeda. Lalu mencucinya dengan air yang mengalir deras di sela batu itu.
Ternyata kampung Mas Parno lebih terpencil lagi. Sudah dekat dengan perbatasan kabupaten Karanganyar, Jateng. “Di balik bukit itu sudah Karanganyar,” ujar sepupu Mas Parno sambil menuding salah satu bukit di sebelah barat kuburan.
Saya memang ke kuburan itu. Melihat lubang yang akan dipakai menyemayamkan mayat Mas Parno. Yakni di sebelah persis makam ibunya. Di bawah pohon rindang yang amat besar – -yang tidak ada yang tahu sudah berapa ratus tahun umurnya. “Kalau Pak Manteb ke sini, ya menerabas lewat bukit itu,” ujarnya. Manteb Sudarsono adalah dalang kondang pujaan saya juga. Yang rumahnya di Karanganyar ternyata di balik bukit itu.
Bukan hanya Pak Manteb yang sudah ke Poncol-nya Mas Parno. Sudah puluhan dalang datang ke Poncol. Untuk tampil gantian, dan sesekali tampil bareng. Pokoknya orang Poncol bangga banget pada Mas Parno. Ingin dalang siapa pun Mas Parno sanggup mendatangkan. Setiap saat selalu ada wayangan di situ.
Nama aslinya hanya satu kata: Suparno. Ia sempat menjadi wartawan Masa Kini di Jogja, sebelum bergabung dengan saya, menjadi wartawan di Jakarta. Ketika harus ke luar negeri, saya minta agar namanya ditambah satu kata lagi. Ia pilih menjadi Suparno Wonokromo.
Rasanya ada beberapa wartawan bernama satu kata yang saya minta dijadikan dua kata. Agar kalau ke luar negeri tidak ada masalah. Wartawan Don Kardono itu, aslinya bernama hanya Kardono. Saya punya dua anak buah yang sama-sama wartawan hebat. Juga sama-sama dalang. Satunya lagi juga bernama satu kata: Margiono. Kini Dirut Rakyat Merdeka Group.
Mas Parno lebih sering mendalang daripada Margiono. Terutama karena Margiono lantas menjadi ketua umum PWI Pusat dua periode. Kadang-kadang saya goda Mas Parno: jangan-jangan kesibukan ndalangnya lebih diutamakan daripada mengurus perusahaan. Tapi kok perusahaan di bawahnya maju semua. Beres semua. Ya sudah.
Sering juga saya tegur Mas Parno. “Kok di Sumatera masih mendalang terus. Apakah nanti tidak ada anggapan men-Jawa-kan Sumatera?“ tegur saya. “Di sini banyak sekali orang Jawa. Mereka juga kangen wayang,” jawabnya.
Mendengar jawaban itu saya pun tidak pernah menegur lagi. Yang penting urusan perusahaan beres. Hanya kadang saya kasihan pada para manajernya: harus ikut semalam suntuk menonton ia mendalang tanpa tahu jalan ceritanya. “Lama-lama kami mengerti kok,” jawab salah satu direktur di Jambi. Saya tahu itu adalah jawaban seorang manajer yang bijaksana.
Setelah lama saya tidak menegur lagi, giliran saya kena batunya. Mas Parno mengadakan rapat pimpinan di Jambi. Saya diminta harus hadir. Dan harus menginap. Tumben. Saya pun hadir.
Ternyata malam harinya ada pertunjukan wayang kulit di kota Jambi. Saya diminta harus ”mucuk-i”. Yakni memainkan wayang di awal pertunjukan sebagai tanda pagelaran dimulai.
Saya pun mengingat-ingat bagaimana saat saya mendalang amatiran sambil menggembala kambing di sawah. Yang wayangnya terbuat dari rumput –yang dibuat wayang-wayangan. Kami tidak mampu membeli wayang –pun hanya terbuat dari kertas.
Memainkan wayang dari rumput memerlukan imajinasi lebih tinggi. Misalnya: untuk membedakan tokoh Gatotkaca dengan Werkudara hanya dilihat dari besar kecilnya wayang-rumput. Dan suara percakapannya nanti. Bahkan untuk sosok raksasa tidak bisa lagi dibuat dari rumput. Kami menggunakan saja daun kluwih. Daunnya lebar dan panjang. Tangkai daunnya kuat, bisa dipegang untuk memainkannya.
Rupanya Mas Parno tahu, di balik teguran-teguran saya itu saya sendiri penggemar wayang kulit. Dulu saya punya ratusan kaset wayang kulit dengan dalang Ki Narto Sabdo. Pernah, saya, tiap malam harus setir mobil sendirian Surabaya-Magetan. Berhari-hari. Ketika ayah saya sakit. Narto Sabdo-lah yang menemani saya sepanjang perjalanan. Pulang-pergi.
Mas Parno kemarin dimakamkan di desa kebanggaannya itu. Umurnya 62 tahun.
Saya sebut ”kebanggaan” karena Mas Parno sering sekali bercerita tentang kampungnya itu.
Wayanglah yang membuat Mas Parno tidak stres mengurus begitu banyak perusahaan. Wayanglah yang juga membuat gaya hidup Mas Parno tetap seperti Punokawan –jauh dari penampilan seorang bos besar.
Jangankan jas. Sepatu pun ia amat jarang memakai. Selalu saja ia bersandal. Dengan baju lusuh yang tidak pernah dimasukkan celana. Bahkan saya sudah lupa tahun berapa melihatnya bersepatu. Mungkin waktu sama-sama keliling Eropa dulu. Lebih 15 tahun yang lalu.
Mas Parno juga jarang mau pidato. Semua masalah ia selesaikan dengan kerja. Dengan contoh Dengan hubungan pribadi yang seperti keluarga dengan para direkturnya. Mungkin itu karena Mas Parno sudah sering menjadi raja. Di berbagai negara: Amarta, Astina, Wirata…
Dan semua raja itu kok hidupnya hanya di sekitar konflik. Kalau tidak membunuh ya dibunuh. Di mana asyiknya. Mas Parno memilih hidup seperti di padepokan Karangkedempel saja. Tempat para Punokawan hidup dengan sederhana dan apa adanya. (dahlan iskan)