YANG gratis memang menyenangkan. Apalagi yang bilang gratis seorang presiden: Pak Jokowi. Beliau menegaskan vaksin Covid-19 nanti gratis. Untuk seluruh rakyat Indonesia. Kita, kelihatannya, tidak mau kalah dengan Singapura. Dulu, saya pikir, akan ada dua jalur vaksin: gratis dan berbayar. Yang gratis adalah untuk yang tidak mampu. Sedang yang mampu harus membeli sendiri.
Saya pun sempat membayangkan: yang gratis itu harus lewat BPJS kesehatan. Sekaligus membangun sistem agar BPJS kita mendapat momentum untuk memperkukuh diri. Untuk itu BPJS harus bekerja sama dengan Biofarma Bandung –sebagai produsennya. Kita memimpikan BPJS harus semakin kuat. Sebagai andalan kita untuk menangani sistem kesehatan nasional yang kuat.
Sedang untuk yang berbayar saya membayangkan akan diserahkan ke Kimia Farma dan perusahaan farmasi swasta. Pemerintah tinggal mengatur impornya dan menetapkan harga jual tertingginya. Saya mengikuti apa yang terjadi di Tiongkok. Di sana juga ada jalur berbayar. Harganya, dua kali suntik, US 65 dolar. Atau sekitar Rp 800.000.
Kalau di Indonesia disediakan jalur berbayar rasanya harga Rp1 juta masih akan laris. Setidaknya, dari 300 juta rakyat kita, 50 juta orang mampu untuk membayar Rp1 juta itu. Negara hemat Rp50 triliun. Tapi pikiran saya itu bubar. Presiden sudah menegaskan semuanya gratis.
Maka pertanyaan yang muncul setelah itu adalah: bagaimana cara menggilir yang gratis itu. Semua kita rela kalau tenaga medis dan pendukungnya mendapat giliran pertama.
Setelah itu akan muncul problem keadilan. Saya membayangkan pemerintah lagi sibuk mengatur pengelompokan masyarakat yang begitu banyak. Memang persoalan terbesar bukan itu. Yang paling sulit adalah bagaimana Indonesia bisa dapat membeli vaksin itu dalam jumlah yang cukup. Kapasitas pabrik vaksin tentu terbatas –dibanding kebutuhan. Apalagi yang sudah pasti mendapat izin baru Pfizer, Amerika. Yang memiliki dua pabrik: di Michigan dan Belgia.
Sedang Moderna, Sinovac, dan Sinopharm segera menyusul –hampir pasti.
Yang made in Rusia kelihatannya hanya untuk di sana. Sedang yang buatan Australia –dari University of Queensland– sudah resmi tidak diizinkan. Program vaksinnya sudah dibatalkan tiga minggu lalu. Yakni setelah diuji coba ternyata menimbulkan efek samping yang berbahaya. Yakni justru muncul seperti penyakit HIV.
Padahal saat ditemukan universitas itu sudah gegap gempita. Sebagai universitas yang terdepan dalam upaya penyelamatan umat manusia. Kita sendiri masih menunggu hasil uji coba tahap 3 vaksin Sinovac di Bandung itu. Yang laporannya akan selesai dikerjakan akhir bulan ini.
Laporan itu tidak bisa dilekas-lekaskan. Bisa lebih 10.000 lembar. Laporan mengenai satu orang relawan saja bisa lima sampai 10 lembar. Padahal relawannya 1.600 orang.
Karena itu, ketika akhir bulan ini laporan itu dikirim ke BPOM, instansi ini harus mengkajinya. Sebelum memberikan izinnya. Berapa lama BPOM mempelajari ribuan lembar laporan hasil uji coba itu? Di Amerika, juga sama. Laporan hasil uji coba Pfizer dimasukkan ke FDA menjelang liburan ”hari raya kalkun” (Thanksgiving). Orang-orang FDA tidak libur. Mereka, tulis Huffington Post, makan daging kalkun sambil membaca laporan uji coba vaksin.
Itulah yang membuat izin di Amerika begitu cepat keluar. Senin kemarin para perawat di semua negara bagian sudah mulai vaksinasi. Demikian juga perawat di rumah-rumah jompo.
Akhirnya tetap Inggris dan Amerika yang jadi pelopor vaksinasi. Inilah vaksinasi tercepat dalam sejarah manusia. Kurang dari setahun setelah pandemi mulai terjadi. Itu karena pandemi ini memang dahsyat. Semua daya dikerahkan habis-habisan.
Juga karena ada orang bernama Donald Trump. Yang sedang menjabat presiden Amerika. Yang membentuk operasi khusus: Operation Warp Speed. Ia memutuskan memberi uang Rp150 triliun kepada pabrik-pabrik obat yang sanggup menemukan vaksin. Tapi, yang terpenting adalah para ilmuwan: mereka tidak harus bekerja mulai dari nol.
Saat SARS meledak di Tiongkok, mereka sudah giat melakukan penelitian. Bahkan sudah menemukan kuncinya. Hanya saja penelitian itu berhenti di tengah jalan. SARS dengan cepat dipadamkan. Tiongkok, waktu itu, di-lockdown total. Untungnya SARS belum menjalar secara luas. Di Amerika hanya ditemukan 8 orang yang terkena SARS.
Ketika MERS meledak di Timur Tengah juga cepat diatasi. Maka urgensi memproduksi vaksin virus corona tidak ada lagi. Kalau perusahaan obat memaksakan diri untuk memproduksinya, siapa yang membeli. Mereka dibayangi kerugian besar. Lebih baik tidak jadi diproduksi.
Tapi para ilmuwan sudah menemukan RNA messenger. Mereka juga sudah tahu virus corona hanya bergerak di protein DNA. Bahkan mereka sudah menemukan bagaimana membuat ”virus tiruan” yang bisa ”dipakukan” di protein DNA. Dengan demikian RNA messenger bisa ”mengajar” cell untuk melahirkan imun sebagai senjata untuk melumpuhkan ”virus tiruan” itu.
Sudah begitu jauh ilmuwan memetakan virus korona. Maka ketika muncul virus korona baru (Covid-19) mereka sudah punya dasar melangkah. Memang virus korona kali ini jenis baru, tapi jenisnya tetap korona. Yang hanya hidup di protein DNA.
Hebatnya, RNA messenger tadi tidak sampai menyentuh DNA. Itulah yang membuat para ahli menegaskan bahwa vaksin Pfizer tidak bisa disebut modifikasi DNA. Zaman lama hanya mengenal vaksin itu dibuat dari virus yang dilemahkan. Seperti yang diproduksi Sinovac. Covid-19 membuat penemuan baru itu menjadi kenyataan. Kini tinggal seberapa besar pabrik mampu memproduksinya. Pasti laku. Bahkan rebutan. Tanpa SARS dan MERS, tidak mungkin vaksin Covid-19 bisa ditemukan dengan begitu cepatnya. (dahlan iskan)