BOGOR – Pembelajaran tatap muka untuk anak-anak sekolah, seharusnya tak perlu terburu-buru. Kasus Covid-19 terus bertambah membuat risikonya semakin berat. Koordinator Presidium Alumni Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Safrudin Bima memahami bagaimana tingkat kesulitan orang tua di rumah.
Tak mudah mengajar anak-anaknya dalam metode pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hanya saja, kata dia, yang perlu disadari adalah kasus-kasus yang ada justru semakin menanjak. Tak ada tanda-tanda kurva melandai, baik Kabupaten maupun Kota Bogor.
“Sebaiknya tatap muka itu ditunda dulu, karena kemampuan kita menertibkan anak-anak terbatas. Kalau di sekolah, ada guru. Di rumah, ada orang tua. Pertanyaan pentingnya bagaimana antara sekolah san rumah. Pasti berhubungan sarana paublik,” ujar pria yang juga Ketua Komisi 1 DPRD Kota Bogor itu dalam diskusi di Graha Pena Radar Bogor, Jalan KH Abdullah Bin Nuh, tadi malam.
SB (sapaan akrab,red) mengakui, kematangan anak-anak di tingkat SMP ke bawah masih belum bisa dilepaskan dari pengawasan orang tua. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tak terburu-buru mengambil risiko.
“Kalau nanti ada klaster baru dari sekolah, siapa yang mau tanggung jawab ? Peran pemerintah juga disini mesti meyakinkan orang tua (yang terlalu ngotot ingin memasukkan anaknya di sekolah karena kewalahan di rumah),” tambah Ketua DPD PAN Kota Bogor tersebut.
Sementara itu, Sekretaris Presidium Alumni Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Bambang Pria Kusuma juga ikut waswas jika anak-anak dibiarkan bersekolah kembali melalui pembelajaran tatap muka.
Ia membenarkan, kesadaran anak-anak belum begitu bagus. Berbeda dengan tingkatan SMA, yang sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
“Kalau SD ini kan problem bahwa mereka senang bermain dengan teman-temannya. Itu sudah naluriah kan. Apalah guru secara ketat dari waktu ke waktu bisa memgawasi semua murid yang ada di sekolah itu? Kan belum tentu juga,” tekan pria yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Bogor itu.
Tak terkecuali, ketika anak-anak kemudian tertular wabah. Proses pemulihannya pun tentu akan mengalami kesulitan. Ia sendiri melihat belum ada kesiapan terkait pemulihan anak-anak terhadap risiko yang setiap saat bisa mengancam selama pembelajaran tatap muka dibuka.
Senada, Ketua Fraksi Golkar DPRD Kota Bogor, Rusli Prhatevy juga tak yakin dengan pembukaan sekolah tahun depan. Menurutnya, pembelajaran tatap muka itu perlu dikaji ulang. Situasi yang terlihat saat ini, malah bertolak belakang dengan kesiapan yang dibutuhkan untuk membuka sekolah.
“Covid-19 saat ini sangat luar biasa. Kasus meningkat setiap hari. Apalagi, momentum nanti akhir tahun ini ada liburan panjang. Kalau masyarakat tidak menahan diri, nanti akan melonjak lagi kasusnya. Kesiapan tatap muka sepertinya sangat-sangat riskan,” tegasnya.
Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Bogor, Atis Tardiana sebenarnya menyambut baik rencana pembukaan sekolah atau pembelajaran tatap muka itu. Hanya saja, pihaknya sendiri masih menunggu syarat-syarar dan izin dari pemerintah daerah (pemda) atau Satgas Covid-19. Selama setahun belakangan pun mereka telah mempersiapkan diri terhadap kemungkinan pembukaan belajar tatap muka itu.
“Kabupaten Bogor dengan luasnya seperti ini dan jumlah sekolah banyak akan berbeda sekali dengan kota sehingga pengawasannya harus lebih diperhatikan. Kami juga punya elemen-elemen di tingkat kecamatan. Ada juga para pengawas, ada keterlibatan Satgas Covid-19 di tingkat kecamatan dan desa,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, PJJ di Kabupaten Bogor juga dianggap tidak begitu efektif. Pelaksanaannya sangat berat. Masih banyak blank spot di sejumlah wilayah Kabupaten Bogor. Padahal, pemkab Bogor telah menyuplai jaringan internet gratis untuk membantu pembelajaran daring.
“Tentu kami akan berhati-hati melaksanakan sebaik-baiknya. Akan tetapi, belum ada izin resmi juga. Kita akan lihat kajian Satgas Covid-19, karena ada beberapa instrumen yang harus dipenuhi. Ini kan juga harus persetujuan orang tua,” terang Atis. (mam/d)