JAKARTA-RADAR BOGOR, Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, menilai Tiongkok tak boleh mengambil sejengkal pun wilayah Indonesia, termasuk perairan Natuna. Sebab, Natuna bukan hanya kaya potensi perikanan tetapi juga minyak dan gas.
“Potensi ini tentu akan menjadi tumpuan harapan bangsa jika Indonesia ingin berdaulat di sektor energi pada masa depan. Saat ini saja, Indonesia sudah mengimpor gas dan industri nasional mulai mengeluh karena harga gas industri mahal,” ujar Ferdy di Jakarta, Kamis (9/1).
Ferdy menilai, tanpa mengamankan pasokan dan lapangan gas nasional, Indonesia akan menjadi importir. Karena itu, sebuah imperative bagi pemerintah Jokowi untuk menegaskan kembali kedaulatan wilayah di perairan Natuna.
“Di wilayah Natuna ada blok minyak dan gas terbesar, blok East Natuna. Blok ini belum dikembangkan karena terbentur masalah geopolitik, masalah teknis dan biaya investasi pengembangan gas yang membutuhkan biaya besar,” ucapnya.
Ferdy melanjutkan, blok East Natuna sebelumnya sering disebut blok Natuna D-Alpha. Blok ini dikelola perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina (Persero) bermintra dengan ExxonMobil (AS) dan ENI (ITALY).
Namun, karena karbondioksida (CO2) di Blok East Natuna tinggi, sekitar 70 persen, mengakibatkan satu per satu mitra Pertamina hengkang dari blok itu.
Awalnya ENI keluar, sementara ExxonMobil sampai sekarang masih menunggu kepastian fiscal (tax holiday dan revenue split) dari kementerian keuangan.
“Tingginya CO2 di East Natuna inilah yang membuat beberapa perusahaan migas asing hengkang karena membutuhkan teknologi tinggi untuk memisahkan minyak dan gas dari CO2,” katanya.
Ferdy juga mengatakan, pemerintah Jokowi perlu mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengembangkan potensi migas di East Natuna. Seperti Petronas (Malaysia), Total E&P (Prancis) plus ExxonMobil, dengan porsi Pertamina tetap dominan di atas 50 persen.
“Keberadaan ExxonMobil dan negara-negara tetangga seperti Malaysia di East Natuna memberikan dampak dan dukungan positif bagi penguatan daerah perbatasan di Natuna,” katanya.
Ferdy juga mengatakan, Blok East Natuna tercatat setidaknya memiliki cadangan gas lebih dari 200 TCF (Trillion Cubic Feet), tetapi komersialisasi aset juga terbentur isu 70 persen karbondiokida (CO2).
Memisahkan CO2 dengan minyak dan gas dibutuhkan biaya dan teknologi mumpuni. Berdasarkan taksiran pemerintah, pengembangan blok East Natuna membutuhkan biaya sekitar USD 40 miliar.
Artinya, pengembangan Blok East Natuna lebih besar dari biaya investasi untuk pengembangan Liquefied Natural Gas (LNG) Abadi di Blok Masela-Maluku yang dikembangkan oleh perusahaan Jepang, INPEX Corporation sebesar USD 20 miliar.
Pengembangan blok east Natuna juga jauh lebih besar dari pengembangan gas Tangguh Train3, yang dikelola BP Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Kisaran besaran investasi menunjukkan bahwa Blok East Natuna adalah primadona bagi sektor energi nasional.
“Tak mengherankan jika China mengklaim itu wilayah teritorial mereka di Laut China Selatan. Saya berharap pengembangan Blok East Natuna bisa segera rampung dan pemerintah Indonesia lebih taktis mengikat ExxonMobil, Total E&P, PTT atau Petronas untuk bermitra dengan Pertamina,” katanya.
Ferdy juga mengatakan konsumsi gas domestik naik 100 persen selama 10 tahun terakhir, sementara ekspor mengalami penurunan. Indonesia masih impor gas sebesar 2,1 juta ton pada 2016.
“Untuk itu, pemerintahan Jokowi perlu tegas berhadapan dengan China terkait dengan Natuna. Natuna adalah primadona energi nasional di masa depan yang belum dikembangkan,” pungkas Ferdy. (jpnn)