PURWEREJO-RADAR BOGOR,Sejumlah fakta tentang Keraton Agung Sejagat mulai terkuak. Untuk masuk menjadi anggota kerajaan, setiap calon pengikut dikenakan biaya sebesar Rp3 juta sebagai uang pendaftaran. Setelah bergabung, tiap anggota diiming-imingi gaji dengan dolar setiap bulannya.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna mengatakan, iming-iming gaji dolar itu membuat masyarakat tergiur dan mendaftarkan diri. “Mereka sudah merekrut 450 warga. Bukan cuma itu warga diminta bayaran Rp3 juta dengan iming-iming akan hidup lebih baik dan gaji dolar tiap bulan,” ujar Iskandar.
Ia menyebut, dengan membayar Rp3 juta, anggota akan mendapat atribut seragam keraton. Saat ini polisi sedang melakukan penyelidikan dan penggeledahan dokumen keraton yang diduga dimanipulasi.
“Kapolda memerintahkan kepada kami untuk melakukan penyelidikan dan pendalaman, saat melakukan penggeledahan ternyata semua dokumen boleh kita sebut dibuat sendiri, identitas dibuat sendiri,” katanya.
Sementara ini, kata Iskandar polisi telah memeriksa sejumlah saksi. Keraton Agung Sejagat, kata Iskandar meresahkan warga. Keraton itu berpusat di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo.
Pasangan suami istri, Toto Santoso dan Fanni Aminadia mengangkat diri menjadi raja dan ratu. Keduanya disangkakan pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang berimbas pada keonaran di masyarakat serta pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Kapolda Jateng Irjen Polisi Rycko Amelza Dahniel mengatakan ada unsur penipuan dalam kasus Keraton Sejagat. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dana yang dikumpulkan warga berkisar antara Rp3 juta hingga 30 juta rupiah. “Setelah kita dalami, ternyata ada unsur tipu daya di dalamnya. Raja dan Ratu ini menyebar berita bohong kalau Kerajaannya itu menyelamatkan dunia, yang tidak ikut gabung, tidak akan selamat,” kata Rycko.
Untuk kebenaran status Kerajaan sendiri, Polisi memastikan bila Keraton Agung Sejagat tidak pernah ada di Jawa Tengah bahkan di Indonesia.
Polisi, kata dia, juga melibatkan beberapa pakar seperti Rektor Undip dan Guru Besar Hukum Undip untuk memastikan aspek sejarah dan legalitas sebuah kerajaan.
“Begitu sudah mendapat masukan yang matang, kita langsung melangkah penindakan hukum. Hasilnya, Keraton Agung Sejagat tak pernah ada”, kata Rycko.
(cnn/radarcianjur/ysp)