Komisi XI DPR Anggap OJK Kecolongan di Kasus Jiwasraya

0
80
Mantan kepala divisi investasi dan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Syahmirwan memakai rompi tahanan usai diperiksa di gedung Bundar Kejagung RI, Jakarta, Selasa (14/1/2020). (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)
Mantan kepala divisi investasi dan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Syahmirwan memakai rompi tahanan usai diperiksa di gedung Bundar Kejagung RI, Jakarta, Selasa (14/1/2020). (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)
Mantan kepala divisi investasi dan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Syahmirwan memakai rompi tahanan usai diperiksa di gedung Bundar Kejagung RI, Jakarta, Selasa (14/1/2020). (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)
Mantan kepala divisi investasi dan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Syahmirwan memakai rompi tahanan usai diperiksa di gedung Bundar Kejagung RI, Jakarta, Selasa (14/1/2020). (MIFTAHULHAYAT/JAWA POS)

JAKARTA-RADAR BOGOR,  Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Dolfie OFP mempertanyakan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kasus gagal bayar yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Ia membandingkan langkah yang dilakukan oleh OJK dengan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Menurutnya, Kejagung dinilai lebih dulu dalam mengusut penyelidikan pada kasus Jiwasraya dibandingkan OJK, bahkan telah menetapkan lima tersangka. Ini jelas menandakan bahwa OJK telah kecolongan dalam penanganan kasus Jiwasraya.

“Fungsi pengawasan tak berjalan maksimal. Soal Jiwasraya kenapa penyidik Kejagung lebih dulu masuk, kenapa enggak penyidik OJK? Keduluan dari Kejagung?,” ujarnya dalam rapat kerja Komisi XI dengan OJK pada Selasa (4/2).

Dolfie menilai, hal tersebut mencerminkan OJK menganggap kasus gagal bayar yang terjadi di Jiwasraya bukanlah suatu masalah besar. Padahal, lembaga lain bahkan bisa melihat persoalan itu masuk dalam ranah hukum hingga adanya tersangka yang ditetapkan.

“Ini memperlihatkan bahwa OJK menganggap ini tidak ada masalah, sementara pihak di luar Bapak (Ketua Dewan Komisioner Wimboh Santoso) menganggap ini ada masalah hukum atau pidana,” katanya.

Sebagai diketahui, kasus gagal bayar Jiwasraya berawal dari dana hasil hasil penjualan produk asuransi JS Saving Plan digunakan untuk berinvestasi di aset berkualitas buruk atau pada saham-saham gorengan. Hasilnya, bukan keuntungan yang didapat melainkan tekanan likuiditas terjadi di perusahaan pelat merah itu.

Kejagung menyebut Perseroan mengalami gagal bayar senilai Rp 13,7 triliun perhitungan hingga Agustus 2019. Serta, dari lima tersangka yang ditetapkan, tiga diantaranya merupakan mantan petinggi Jiwasraya yakni mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo, dan mantan Kepala Investasi dan Divisi Keuangan Jiwasraya Syahmirwan. (jwp)