Diminta Beberkan Keberadaan Nurhadi Cs, Haris: KPK Era Firli Receh

0
62
Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar (Dok JawaPos.com)
Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar (Dok JawaPos.com)
Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar (Dok JawaPos.com)
Direktur Lokataru Foundation, Haris Azhar (Dok JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar merasa heran dengan tanggapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pelaporannya mengenai keberadaan mantan Sekertaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Sebab, pada Selasa (18/2) kemarin, Haris menyambangi KPK memberitahu bahwa Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono berada di salah satu apartemen mewah di kawasan DKI Jakarta.

“KPK mempersilahkan saya lapor ke KPK. Padahal alamat apartemenya ada di KPK, para penyidik sudah tahu. Buat apa muter-muter suruh saya lapor lagi,” kata Haris dikonfirmasi, Rabu (19/2).

Aktivis HAM ini mencurigai adanya modus baru yang dilakukan KPK. Menurutnya pimpinan KPK jilid V sengaja memasukan Nurhadi dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). “Jadi, sengaja dibuat DPO. Lalu praperadilan, terus diputus bebas,” ucap Haris.

Oleh karena itu, lembaga antirasuah seharusnya secara tegas menjemput paksa Nurhadi beserta dua tersangka lainnya terkait pengurusan kasus di Mahkamah Agung (MA). Pimpinan KPK era Firli Bahuri dinilai tidak tegas terhadap tersangka korupsi.

“Buat saya aneh, kenapa tiba-tiba DPO? Wong KPK belum pernah cari, belum pernah geledah, cuma mengandalkan pemanggilan saja. Nurhadi tidak hadir lalu dinyatakan DPO, ke depannya KPK kayak gini sangat disayangkan. Receh banget,” sesalnya.

Sebelumnya, pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri menantang Direktur Eksekutif Lokataru Foundation,
Haris Azhar untuk bisa membeberkan secara terbuka soal keberadaan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono. Kedua tersangka pengurusan kasus di MA itu merupakan buronan KPK.

“Tentunya kami berharap Haris Azhar bisa membeberkan secara terbuka, datang lagi ke KPK, sampaikan dimana tempatnya, siapa yang melakukan penjagaan. Sehingga tidak terjadi polemik,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (18/2).

Juru bicara KPK berlatar belakang Jaksa ini menyebut, penetapan Nurhadi beserta dua orang tersangka lainnya yakni Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto ke dalam daftar pencarian orang (DPO) telah memenuhi prosedur yang ada di KPK.

“Sudah melalui prosedur hukum yang kami lakukan di KPK dari mulai pemanggilan hingga seterusnya, sampai bantuan penangakapan dan DPO,” tegas Ali.

KPK diketahui telah memasukkan tiga nama dalam DPO. Mereka adalah mantan Sekretaris MA Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto. Ketiganya merupakan tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2011-2016.

KPK menerbitkan DPO setelah ketiganya tidak kooperatif memenuhi panggilan penyidik KPK. Nurhadi bahkan telah mengajukan praperadilan dan telah di tolak oleh Hakim PN Jakarta selatan pada tanggal 21 Januari 2020. KPK menduga telah terjadi adanya pengurusan perkara terkait dengan kasus perdata PT. MIT melawan PT. KBN (Persero) pada tahun 2010 silam.

Nurhadi yang ketika itu menjabat Sekretaris MA dan menantunya diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT. MIT dari tersangka Hiendra untuk mengurus perkara peninjauan kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero).

Poses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN (Persero) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan. Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka Rezky menjaminkan delapan lembar cek dari PT. MIT dan tiga lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar.

Nurhadi dan Rezky lantas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.(jwp)