JAKARTA-RADAR BOGOR, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah penetapan daftar pencarian orang (DPO) terhadap tersangka pengurusan kasus di Mahkamah Agung (MA) Nurhadi merupakan formalitas. Hal ini menjawab tudingan dari Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar.
Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri menegaskan, status buronan yang disematkan kepada mantan Sekretaris MA bersama dua tersangka lainnya yakni, Rezky Herbiyono dan Direktur Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto, telah sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.
“Kami bantah kalau kemudian ada pihak yang bilang ini hanya sekedar formalitas. Karena proses dari awal bahwa ada informasi keberadaan tersangka itu masukan ke penyidik yang sudah kami selidiki,” kata Ali di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (20/2).
Ali menjelaskan, lembaga antirasuah telah berupaya memanggil Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto sebagai saksi dan tersangka. Menurutnya, surat pemanggilan terhadap tiga orang itu telah sampai. Dia pun menampik jika surat panggilan terhadap Nurhadi Cs tak sampai pada alamat yang dituju.
“Beredar informasi surat tidak sampai ke tersangka dan kemudian ada yang bilang berlebihan dibilang DPO dan sebagainya, kami tegaskan bahwa surat yang kami berikan selain dari saksi saat itu maupun tersangka sudah sesuai hukum,” tegas Ali.
Oleh karena itu, juru bicara KPK berlatar belakang Jaksa ini menyebut, sesuai Pasal 227 KUHP, apabila tersangka tak bisa ditemui dan surat panggilan telah tersampaikan, maka KPK akhirnya menetapkan ketiganya sebagai buronan.
“Jadi memang ada beberapa hal yang kemudian kami setelah melakukan kajian dan tentunya melihat dari sisi hukum acaranya, maka kita masukkan DPO,” cetus Ali.
Sebelumnya, Haris Azhar merasa heran dengan tingkah KPK yang menyematkan status buronan terhadap Nurhadi serta menantunya, Rezky Herbiyono dan Direktur Multicon Indrajaya Terminal Hiendra Soenjoto. Haris mencurigai adanya modus baru yang dilakukan KPK yang sengaja memasukan Nurhadi dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Jadi, sengaja dibuat DPO. Lalu praperadilan, terus diputus bebas,” ucap Haris dikonfirmasi, Rabu (19/2).
Haris yang mendapat informasi soal keberadaan Nurhadi berada di salah satu apartemen mewah kawasan Jakarta menilai, KPK era Firli Bahuri tidak tegas terhadap tersangka korupsi. Seharusnya KPK dapat menjemput paksa Nurhadi beserta dua tersangka lainnya.
“Buat saya aneh, kenapa tiba-tiba DPO? Wong KPK belum pernah cari, belum pernah geledah, cuma mengandalkan pemanggilan saja. Nurhadi tidak hadir lalu dinyatakan DPO, ke depannya KPK kayak gini sangat disayangkan. Receh banget,” sesalnya.
KPK diketahui telah memasukkan tiga nama dalam DPO. Mereka adalah mantan Sekretaris MA Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto. Ketiganya merupakan tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2011-2016.
KPK menerbitkan DPO setelah ketiganya tidak kooperatif memenuhi panggilan penyidik KPK. Nurhadi bahkan telah mengajukan praperadilan dan telah di tolak oleh Hakim PN Jakarta selatan pada tanggal 21 Januari 2020.
KPK menduga telah terjadi adanya pengurusan perkara terkait dengan kasus perdata PT. MIT melawan PT. KBN (Persero) pada tahun 2010 silam.
Nurhadi yang ketika itu menjabat Sekretaris MA dan menantunya diduga menerima sembilan lembar cek atas nama PT. MIT dari tersangka Hiendra untuk mengurus perkara peninjauan kembali (PK) atas putusan Kasasi Nomor: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero).
Poses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN (Persero) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan. Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka Rezky menjaminkan delapan lembar cek dari PT. MIT dan tiga lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar.
Nurhadi dan Rezky lantas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.(jwp)