Ribuan Istri di Cianjur Minta Dicerai

0
334
Ilustrasi
Ilustrasi

CIANJUR-RADAR BOGOR, Perceraian di Kabupaten Cianjur masih terbilang tinggi. Pasalnya, dalam kurun waktu dua tahun terakhir terjadi peningkatan. Pada tahun 2018 tercatat ada 3.961 kasus perceraian yang ditangani yang terdiri dari 3.394 cerai gugat dan 567 cerai talak.

Sementara pada tahun 2019, angka tersebut merangkak naik menjadi 4.415 kasus yang terdiri dari 3.370 cerai gugat dan 645 cerai talak. Namun, di awal tahun 2020 pada periode 1 Januari hingga 24 Februari 2020 tercatat sudah ada 497 perkara cerai gugat dan 83 cerai talak.

“Di awal tahun 2020 ini, kami sudah menerima ratusan permohonan perceraian dalam kurun waktu periode 1 Januari hingga 24 Februari 2020 dengan jumlah 497 perkara cerai gugat dan 83 cerai talak,” ujar Hakim sekaligus Humas Pengadilan Agama Kabupaten Cianjur, H Asep.

Kasus atau perkara cerai gugat lebih banyak dilakukan pihak pasangan perempuan dibandingkan kasus cerai talak. Faktor dari kasus gugatan tersebut disebabkan ekonomi yang dikarenakan suami tidak menafkahi istri, penghasilan suami lebih kecil dari istri hingga permasalahan rumah tangga yang berujung perceraian.

“Faktor ekonomi itu paling besar sekitar 70 persen dari total kasus perceraian, selain itu ada masalah akhlak dan KDRT dengan persentase 10 persen, lalu mengenai perselingkuhan dan lainnya,” ungkapnya.

Lanjutnya, dari permasalahan penghasilan, dari pihak istri merasa dieksploitasi oleh pasangannya. Disebabkan suami hanya antar jemput istri yang bekerja di pabrik. Sementara saat pulang, suami meminta untuk dilayani secara batin yang kurang mengerti istri karena lelah bekerja. Hal tersebut yang menjadi awal keributan dalam rumah tangga jika komunikasi antar pasangan kurang baik.

Selain pihak wanita yang bekerja menjadi karyawan pabrik, ada pula wanita yang bekerja ke luar negeri turut menjadi korban eksploitasi. Tidak sedikit penghasilan dari istri yang mengirimkan untuk suami dimanfaatkan dengan baik, atau dalam hal ini tidak bertanggungjawab. Sehingga perasaan dieksploitasi pun muncul.

“Makanya dari faktor ekonomi itu merembet, baik ke percekcokan yang berkepanjangan hingga dampak lainnya. Tapi pada intinya kembali ke masalah ekonomi. Ada juga yang karena istrinya berpenghasilan lebih besar, suaminya jadi minder,” paparnya.

Dirinya pun mengimbau, perlu ada peran dari semua pihak dalam menekan angka perceraian di Kabupaten Cianjur seperti dengan membuka lapangan pekerjaan bagi kaum pria dan pelatihan keterampilan, sehingga suami bisa berwirausaha.

“Kalau sekarang kan yang banyak bekerja itu perempuan. Mungkin bukan suaminya yang tidak mau bekerja tapi karena faktor perusahaan yang lebih banyak menerima buruh perempuan. Makanya ini jadi ‘PR’ bersama,” tutupnya.(pin/kim/rc)