JAKARTA-RADAR BOGOR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyesalkan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang membatasi kegiatan jurnalistik di dalam persidangan. Aturan baru itu dinilai akan memperburuk kondisi peradilan di Indonesia.
“Menanggapi aturan ini, YLBHI berpendapat bahwa larangan memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan,” kata Direktur YLBHI Asfinawati, Kamis (27/2).
Asfina menilai, isi surat edaran itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskan kepada masyarakat. Terlebih, terdapat ancaman pidana di dalamnya.
“Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut sudah terdapat dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam surat edaran ini,” ucap Asfina.
Asfina menuturkan, kegiatan memotret, merekam dan meliput persidangan tanpa izin merupakan ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang. Namun, kegiatan jurnalistik tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.
“Ketua Pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu,” sesalnya.
Berdasarkan catatan YLBHI, lanjut Asfina, rekaman sidang di pengadilan memiliki sejumlah manfaat. Diantaranya sebagai bukti keterangan di dalam persidangan. Terlebih, di Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang.
YLBHI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), kata Asfina, sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun putusan majelis hakim. Terlebih keterangan saksi tidak dikutip secara utuh baik oleh Jaksa maupun hakim sehingga menimbulkan makna berbeda.
Bahkan, berdasarkan pengalaman sidang lembaganya, terdapat keterangan saksi tertentu yang tidak diambil. Rekaman sidang baik audio maupun video bisa berperan sebagai pengawas bagi hakim dan pihak berperkara dalam bersidang.
“Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan bahkan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum,” tegas Asfina.
Kendati demikian, masalah di ranah pengadilan belum banyak berubah meskipun terdapat sejumlah peraturan di MA yang membawa pembaruan. Hal ini yang seharusnya diperkuat oleh MA sebagai lembaga peradilan.
“Tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespons permintaan pihak-pihak yang berperkara,” tegasnya.
Berdasarkan catatan di atas, YLBHI mendesak agar surat edaran yang mengatur pembatasan kerja-kerja jurnalistik segera dicabut. “Kami menyatakan meminta perihal larangan memfoto dan merekam persidangan dicabut dari SE Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 2/2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan,” tukasnya.
Sebagaimana diketahui, Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020 mengatur ketentuan mengenai Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan.
Bagian I angka 3 Tata Tertib Umum isi surat edaran itu berbunyi, ‘Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan’.
Sementara pada bagian II angka 9 Tata Tertib Persidangan dikatakan, “Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada angka 7 bersifat suatu tindakan pidana, akan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya,”
Ada pun angka 7 mengatur, “Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua majelis untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat,” (jwp)