JAKARTA– RADAR BOGOR, Kementerian Agama (Kemenag) mengikuti regulasi Kemendikbud untuk membatalkan ujian nasional (UN) bagi madrasah tsanawiyah (MTs) dan madrasah aliyah (MA).
Ujian akhir madrasah berstandar nasional (UAMBN) juga ditiadakan menyusul kebijakan tersebut.
’’Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, tidak lagi menggunakan nilai UN sebagaimana tahun sebelumnya,’’ kata Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Kemenag Ahmad Umar Rabu (25/3/2020).
MA dan MTs yang telanjur menjalankan UAMBN akan mendapatkan sertifikat hasil. Sertifikat itu dapat dicetak langsung melalui aplikasi UAMBN-BK.
Panitia UAMBN di tingkat Kantor Wilayah Kemenag bisa mengunduh hasilnya pada laman uambnbk.kemenag.go.id mulai hari ini Kamis (26/3/2020). Setelah dicetak, sertifikat bisa didistribusikan ke semua MA dan MTs melalui pengiriman softcopy. ’
’Nilai UAMBN yang sudah dihasilkan hanya diperlukan untuk pemetaan kompetensi siswa,’’ katanya. Nilai itu tidak digunakan sebagai syarat kelulusan ataupun syarat masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Umar menjelaskan aturan kelulusan untuk anak-anak madrasah. Ujian dilakukan dalam bentuk portofolio dari nilai rapor dan prestasi yang didapat anak didik sebelumnya. Kemudian, ujian juga bisa diselenggarakan secara daring jika masih memungkinkan.
Bagi sekolah yang tidak memungkinkan melaksanakan ujian daring, penentuan kelulusan berasal dari nilai rapor. Jenjang madrasah ibtidaiyah menggunakan nilai rapor kelas IV, V, dan VI semester ganjil. Kemudian, jika ada, nilai rapor semester genap kelas VI dapat digunakan sebagai nilai tambahan.
Sementara itu, kelulusan MTs dan MA ditentukan dari nilai lima semester sebelumnya. Sama seperti MI, jika ada, nilai rapor kelas IX dan XII semester genap dapat digunakan sebagai tambahan nilai kelulusan.
Sekolah juga berwenang menentukan waktu kelulusan dengan catatan menyesuaikan ketetapan waktu di lingkungan pendidikan setempat.
Mengenai keputusan penghapusan UN, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim kembali meminta semua pihak memahami situasi darurat saat ini.
’’Saya tahu banyak orang tua yang telah menginvestasikan anaknya bimbel. Tapi, karena kelulusan tidak bergantung pada UN, seharusnya ini minoritas. Bagi yang kecewa, saya minta maaf,’’ ujarnya.
Dia yakin kebanyakan orang tua setuju UN ditiadakan. Menyelenggarakan UN dalam situasi seperti saat ini pasti meningkatkan tekanan psikis yang besar.
Langkah tersebut juga telah mempertimbangkan pilihan antara memastikan kualitas belajar dan keselamatan nyawa. ’’Kami pilih keselamatan nyawa,’’ katanya. (wan/mia/c19/ayi)