Jebakan Angka-Angka di Tengah Pandemi Covid-19

0
37
Yusfitriadi
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi

BOGOR – RADAR BOGOR, Belum ada pihak manamun yang mampu memastikan sampai kapan penyebaran Covid-19 ini bisa dihentikan. Sehingga berbagai spekulasi yang bersifat prediktif, asumtif maupun narasi subyektif berkembang sedemikian rupa diranah publik.

Tidak sedikit narasi-narasi yang bersifat prediktif maupun assumtif yang memunculkan harapan dan menggembirakan. Namun banyak juga narasi-narasi tersebut membuat kepanikan, skeptis dan memutus asa.

Seperti dilansir dibeberapa media, informasi dan pernyataan prediksi yang sangat menggembirakan dating dari para ilmuwan dari Singapore University of Technology and Design (SUTD) memberikan prediksi kapan virus corona di Indonesia berakhir.

Prediksi diunggah dalam laman resmi SUTD dengan judul When Will COVID-19 End. Diperkirakan terjadi pada 6 Juni 2020. Saat itu, Indonesia diperkirakan bisa mengatasi 97 persen dari total kasus pandemik COVID-19. Sementara pada 23 Juni 2020, Indonesia bisa mengatasi lebih banyak kasus COVID-19 yaitu sekitar sekitar 99 persen kasus infeksi virus corona.

Pada 6 September 2020, prediksi kapan Covid-19 berakhir di Indonesia menyatakan kasus teratasi 100 persen. Artinya, Indonesia benar-benar bisa keluar dari status terkena pandemi virus corona.

Namun prediksi yang beraroma skeptis muncul dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Seperti dilansir dalam Good News for Indonesia, beliau memberikan prediksi mengenai kapan pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia akan berakhir. Menurut Jokowi, virus corona akan berakhir akhir tahun 2020.

Di tengah berbagai prediksi tersebut, Islam di seluruh dunia meyakini Bulan Ramadhan akan mampu mengetyuk pintu langit dalam menghentikan penyebaran Covid-19.

Angka-angka yang Menjebak

Ada dua cluster angka yang selama pandemic Covid-19 terkadang melenakan, menakjubkan bahkan juga menganggap akuntabilitas dan transparasi dengan angka-angkat tersebut sudah terjaga. Pertama, Angka Progress Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Setiap hari di semua media electonik kita diberikan informasi terkait perkembangan korban Covid-19, baik itu jumlah masyarakat yang terinveksi, masyarakat yang sembuh dan masyarakat yang meninggal diakibatkan oleh inveksi Covid-19.

Tidak hanya itu, bahkan beberapa histori penularan covid-19 juga beberapa kasus diinformasikan, selain himbauan-himbauan untuk masyarakat dalam ikut serta memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Data tersebut oleh banyak pihak diduga disembunyikan oleh pemerintah, sehingga pemerintah dari awal tidak terbuka dengan jum;ah korban yang positif terinveksi Covid-19. Walau sampai hari ini pun data-data tersebut masing banyak yang meragukan validitasnya.

Progress perkembangan penyebaran Covid-19 juga dikuti oleh semua propinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Respon masyarakatpun sangat beragam terhadap angka-angka tersebut, dari mulai yang panik, bingung, optimis, skeptis dan lain-lain. Apapun respon masyarakat, yang pasti angka-angka tersebut sudah mampu menghipnotis dan menjebak perhatian masyarakat.

Sehingga terkesan hanya angka-angkat tersebut yang layak diperhatikan dan menguras perhatian masyarakat ditengah pandemic Covid-19 ini.

Padahal, ada banyak angka-angka yang lebih menarik dabandingkan hanya sekedar angka informatif. Sampai hari ini, tidak pernah ada pihak manapun yang bertanggungjawab atas angkat-angka jumlah masyarakat yang terdampak Covid-19 sehingga terancam hak-hak dasar dalam kehidupannya.

Berapa jumlah karyawan yang dirumahkan tanpa diberikan gaji dan pesangon, berapa karyawan pasar tanah abang dan pasar-pasar lainnya yang tidak bekerja, berapa pedagang asongan dan kaki lima yang biasanya bulan Ramadhan ini panen, namun saat ini harus menutup lapak-lapaknya, berapa tukang ojeg konvensional dan ojeg online yang kehilangan mata pencahariannya.

Belum lagi pada sector-sektor unit usaha. Kita tidak pernah tahu berapa buruh kontruksi bangunan proyek yang diberhentikan, karywan bank, lembaga keuangan micro yang siap-siap gulung tikar menjelang iedul fithri ini.

Faktanya sampai saat ini, angka-angka tersebut masih tersembunyi. Kedua, Angka Bantuan Sosial Pemerintah. Dilansir oleh situs resmi Sekretariat Kabinet Indonesia yang diposting tanggal 9 April 2020. Dalam situs tersebut disebutkan sebagai bentuk perhatian pemerintah yang sangat besar terhadap percepatan penanganan Covid-19, pemerintah memberikan 4 (empat) bentuk batuan yanbg sudah disampaikan sebelumnya dan tambahan 6 bantuan.

Dalam bantuan tersebut jelas disebutkan angkat-angka nominal rupiah yang langsung ditangkap oleh masyarakat sejak tanggal 31 Maret 2020. Seperti Bantuan berbentuk kartu sembako, yang akan diberikan kepada 20 juta penerima, masing-masing Rp. 200.000,-/bulan.

Dalam bentuk Kartu Par Kerja untuk 5,6 juta orang, setiap orang akan mendapatkan Rp. 600.000,-/bulan. Untuk masyarakat yang berdomisi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi akan mendapatkan bantuan social sembako, sebesar Rp. 600.000,-/tiga bulan.

Angka-angka tersebut begitu dinyatakan oleh Presiden Republik Indonesia, saat itu juga langsung direspon oleh masyarakat. masyarakat tidak pernah faham angka-angka itu untuk siapa, rakyat juga tidak faham negara ini masih mempunyai masalah besar dengan data, rakyat juga tidak akan pernah memahami pemerintah mempunyai dana berapa untuk membantu masyarakat.

Yang ada dipikiran masyarakat adalah, Presiden Republik Indonesia akang membantu rakyat Indonesia untuk mengurangi beban yang diakibatkan oleh wabah Covid-19. Tentu hal ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Indonesia, namun setelah lama menunggu bantuan-bantuan tersebut tidak juga datang dan datangpun jauh dari harapan. Disitulah kemudian kita memahami bahwa angka-angka tersebut adalah jebakan. Banyak Kepala Desa yang dikejar-kejar oleh warga, karena dianggap tidak mampu mengelola bantuan-bantuan tersebut. Bahkan beredar di media social beberapa Kepala Desa “menggugat” Presiden. Semakin sadar atas jebakan-jebakan tersebut ketika menyaksikan 2 (dua) staf khusus presiden dari kalangan milenial memanfaatkan angka-angka tersebut untuk “berbisnis” di istana negara.

Ketiga, Angka Rekayasa Anggaran Pemerintah. Seperti yang disampaikan oleh Mentri Keuangan Sri Mulyani bahwa terdapat anggaran mencapai 27 Triliyun yang dapat direlokasikan untuk penanganan Covid-19. Dikuti dari beberapa media, hal tersebut dinyatakan Sri Mulyani dalam Konfrensi Pers APBN Kita melalui Streaming Video tanggal 18 Maret 2020.

Hampir bersamaan dengan pernyataan Mentri Keuangan tersebut, Mentri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Intrukni Mentri Dalam Negeri pada Tanggal 2 April 2020 tentang Refocusin Anggaran Seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia.

Seluruh Kebijakan Keuangan Negara tersebur dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 31 Maret 2020. Peraturan inilah yang dipersiapkan pemerintah untuk melindungi para Aparatur Sipil dan Negara ketika terdapat “malpraktek” dalam mengelola rekayasa anggaran-anggaran ini, baik ditingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Jebakannya adalah kemana anggaran hasil rekayasa tersebut, dimana dipergunakannya dan bagaimana bentuk transparasi serta akuntabilitasnya. Kebijakan Pembatasan Sosisla Bersakala Besar (PSBB) yang diterapkan diberbagai daerah yang menggunakan anggaran hasil rekayasa tersebut, sebagian besar “gagal”, sehingga banyak daerah mengajukan PSBB tahap kedua, tentu dengan menggunakan anggaran yang sama.

Termasuk pendataan masyarakat yang terdampat Covid-19 yang merupakan tugas Gugus Tugas pun tidak berjalan. Padahal kinerja Gugus Tugas tersebut juga atas biaya hasil rekaya-rekayasa itu. Sampai hari ini masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka terkait penggunaan semua anggaran hasil rekayasa tersebut.

Masyarakat Terperangkap Jebakan

Ditengah gelimangnya angka-angka seperti disampaikan di atas, masyarakat yang pada akhirnya menjadi korban atas angka-angka tersebut. Bagaimana tidak masyarakat diminta untuk tinggal di rumah, pencaharian semua dibatasi bahkan banyak yang dihentikan sementara tidak ada jaminan atas hak-hak dasar hidup masyarakat.

Peneliti Ekonomi Indef Bhima Yudisthira dalam detikfinance mengatakan, Di tengah virus Corona yang makin luas penyebarannya di Indonesia, banyak masyarakat mulai mengeluh kesulitan ekonominya.

Terlebih lagi bagi para pekerja informal yang kehilangan sumber pendapatan, pekerja formal pun dibayangi PHK karena melemahnya dunia bisnis. Pada akhirnya masyarakat akan selalu dihantui berbagai permasalahan social, entah itu kekurangan pangan, lemahnya daya beli masyarakat, kegaduhan social yang mengarah kepada kerusuhan dan masalah-masalah social lainnya, Seperti yang disampaikan oleh Achmad Hafizs Tohir Anggota Komisi XI DPR-RI dalam rapat virtual dengan Otoritas Jasa Keungan (OJK) pada tanggal 7 April 2020, “Tidak mungkin tertutup masalah sosial jika tidak segera diselesaikan masalah ekonominya. Jangan sampai kita selamat dari [penyebaran] COVID-19 tapi mati karena kerusuhan (sebagai akibat dari masalah sosial)” seperti dikutip dari ekonomi.bisnis.com.

Oleh : Yusfitriadi
Direktur Democracy and Eelectoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia