JAKARTA-RADAR BOGOR, Sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang didirikan sejak tahun 1980, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sudah 40 tahun lamanya melayani masyarakat dan terus mengikuti perkembangan perubahan sebagaimana tren yang berkembang.
Sabtu (17/5/2020) pekan lalu, Perpusnas genap berusia ke-40 tahun yang menghargai semua bentuk pengetahuan, menggunakan teknologi secara cerdas untuk meningkatkan layanan, melindungi keterbukaan akses ke pengetahuan dan menghargai masa lalu untuk menciptakan masa depan.
Kepala Perpusnas, M. Syarif Bando mengatakan, perpustakaan dan teknologi saling mendukung dalam mengelola dokumen masa lalu guna menciptakan masa depan. Perpustakaan pun dituntut terus meningkatkan kualitas melestarikan dan menyediakan akses kepada publik melalui digitalisasi.
“Kita tahu bahwa hari-hari terakhir ini kita semua harus mengikuti program pemerintah untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah saja, karena itu peran perpustakaan semakin terasa. Baik bahan bacaan tersedia di rumah maupun yang bisa kita akses melalui online,” katanya saat HUT Perpusnas yang ke-40 tahun.
Menurut Syarif, perpustakaan sudah bertransformasi dalam penyajiannya. Sekitar 3 miliar artikel bisa diakses melalui media online, dan disiapkan 600.000 buku-buku berbahasa Indonesia yang bisa dibaca full teks serta diakses lewat berbagai fasilitas seperti gawai, komputer dan sebagainya.
Semua ini menunjukkan perpustakaan telah merubah paradigma, dari yang sebelumnya harus dikunjungi, saat ini perpustakaanlah yang menjangkau masyarakat. Perpusnas Indonesia menjadi satu-satunya di seluruh dunia yang menerapkan Digital Rights Management yang diberi nama “iPusnas” sebuah aplikasi android perpusnas digital.
“Kepada seluruh penggiat literasi seluruh sahabat-sahabat saya pengelola perpustakaan di Indonesia dan juga para pendidik, kita semakin sadar bahwa perpustakaan adalah sebuah simbol peradaban,” ungkap dia.
Perpusnas memiliki tugas dan fungsi untuk menghimpun dan melestarikan khazanah intelektual bangsa berupa berbagai karya cetak dan karya rekam, sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2018, tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR).
Dengan demikian, Perpusnas menjadi suatu ikon peradaban pusat repositori nasional yang dipastikan semua buku yang terbit di Indonesia yang legal yang mendapatkan internasional standar book number (ISBN) itu ada di Perpustakaan Nasional.
“Namun kami menyadari bahwa jumlah terbitan di Indonesia saat ini belum seimbang dengan jumlah penduduk, sehingga salah satu kendala adalah keterbatasan bahan bacaan. Ditaksir sampai hari ini, tidak lebih dari sekitar 200.000-300.000 judul buku yang terbit setiap tahun, dan rata-rata setiap judulnya hanya dicetak rata-rata sekitar 5.000 eksemplar,” urai Bando.
Ini menjadi penyebab utama terjadinya ketimpangan antar wilayah. Di beberapa kota besar mungkin lebih dari cukup untuk bahan bacaan. Tetapi daerah-daerah lain terutama yang ada di perbatasan, seperti Indonesia bagian timur, masih terasa sangat kekurangan terbitan bahan bacaan. Karena itu rasio antara jumlah buku yang terbit dengan kebutuhan membaca penduduk sangat jauh.
Sementara dalam mengukur tingkat indeks literasi pada sebuah bangsa, UNESCO menetapkan minimal 3 buku baru setiap orang setiap tahun. Benua Eropa dan Amerika, rata-rata masyarakatnya bisa membeli dan membaca buku mulai 15-20 judul setiap tahun.
Maka guna memahami tingkatan literasi, UNESCO menetapkan standar minimal 1 orang 3 buku baru setiap tahun yang berlaku untuk semua. Selanjutnya kemampuan mengemukakan ide, teori, inovasi dan kreativitas baru yang harus dipahami pada tingkat sekolah menengah. Terakhir literasi kemampuan menciptakan barang dan jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global.
“Tantangan kita semakin berat ke depan. Berbagai upaya yang ditempuh negara lain untuk membangun indeks literasinya itu betul-betul mendapatkan perhatian yang serius. Sementara kita masih terkendala pada ketimpangan antar wilayah,” jelas Syarif. (rur)