Yang ingin menyumbang paru terus bertambah. Sampai kemarin meningkat menjadi 30 orang. Demi nyawa seorang pilot Inggris itu. Yang bekerja di Vietnam Airlines itu.
Ia satu-satunya penderita Covid-19 di Vietnam yang berpotensi akan meninggal dunia (Baca DI’s Way: Satu Nyawa). Rakyat Vietnam tidak mau pilot itu meninggal. Agar Vietnam tetap tercatat di sejarah Covid-19 –sebagai satu-satunya negara yang tidak ada korban meninggal dunia.
Tapi kondisi paru pilot itu terus memburuk. Sekarang sudah sepenuhnya tergantung pada paru buatan. Darah pilot itu –namanya Pasien No. 91– harus dilewatkan mesin yang berfungsi sebagai paru. Dari mesin itu darah dialirkan kembali ke jantung. Untuk diedarkan ke seluruh tubuh –dengan oksigen yang didapat di mesin paru itu.
Memang tim dokter sudah memutuskan: akan melakukan transplant paru. Tinggal menunggu donor. Sebenarnya transplant itu sudah dilakukan kemarin. Sudah ada orang meninggal di rumah sakit itu. Tapi, setelah diperiksa, parunya tidak sehat. Terkena infeksi. Batal.
UU di Vietnam memang masih melarang transplant dengan pendonor orang yang masih hidup –untuk menghindari perdagangan organ. Tentu pemerintah komunis Vietnam bisa saja bikin pengecualian. Kalau keadaannya sangat darurat.
Hanya, kondisi Pasien No. 91 itu masih bisa bertahan beberapa hari lagi. Dengan paru buatan itu. Siapa tahu masih akan ada lagi calon donor cadaver.
Transplant paru sendiri kini memang sudah mulai umum. Dengan biaya sekitar Rp 1 miliar (di India) atau Rp 1,5 miliar (di Inggris). Tergantung kondisi pasien.
Memang transplant paru sangat sulit. Tidak semudah transplant liver. Apalagi transplant ginjal. Namun kisah suksesnya sudah kian tinggi.
Satu kota kecil –untuk ukuran di sana– di Tiongkok pun sudah bisa melakukannya. Kota Wuxi tercatat sebagai yang pertama melakukan transplant paru pasien Covid-19. Untuk dua paru sekaligus. Sukses pula.
Sejarah itu dibuat tanggal 29 Februari lalu. Itu hari Sabtu. Baru disiarkan media di sana hari Senin lusanya.
Kota kecil Wuxi letaknya satu jam perjalanan kereta cepat dari Shanghai –ke arah Nanjing. Wuxi adalah kota industri –semua daerah di antara Shanghai-Nanjing adalah kawasan industri. Setiap hari lebih 50 kereta cepat menghubungkan Shanghai-Nanjing. Beberapa di antaranya berhenti di stasiun Wuxi.
Pasien Covid-19 yang menjalani transplant paru di Wuxi itu berumur 54 tahun.
Sebenarnya ia sudah sembuh dari Covid. Sudah dites nucleus acid. Dua kali. Selalu negatif.
Tapi parunya bermasalah. Lendirnya sangat lengket di paru. Itu menyebabkan si pasien tidak bisa bernafas. Sangat tersiksa.
Tapi kondisi organ lain pasien itu sangat baik. Ia pun memenuhi syarat untuk di-transplant. Berhasil.
Vietnam memang belum berpengalaman di bidang itu. Belum ahli. Tapi tim Wuxi bisa dengan cepat membantu. Sesama negara komunis. Bertetangga pula.
Tapi kelihatannya Vietnam akan minta bantuan Jepang. Di Jepang sudah lebih sering dilakukan transplant paru.
Tim dari Jepang itulah yang selama ini membantu dokter Vietnam untuk mengembangkan ilmu transplant. Bahkan pernah mempraktekkannya.
Dan lagi Jepang lah sahabat terbaik Vietnam –bukan Tiongkok. Investor asing terbesar di Vietnam adalah Jepang. Hubungan Vietnam dengan Tiongkok seperti Wahabi dan Syi’ah. Sama-sama komunis tapi mazhabnya berbeda. Bahkan pernah saling serang.
Vietnam sangat percaya pada Jepang. Waktu dokter Vietnam ingin melakukan transplant pembimbingnya dari Jepang. Termasuk saat ingin mempraktekkan transplant paru yang pertama. Dua tahun lalu.
Dengan didampingi tim Jepang itu dokter Vietnam sudah sukses melakukan uji coba transplant paru itu. Di Ho Chi Minh City. Yakni tahun 2017. Pasien yang diuji coba waktu itu adalah seorang anak umur 7 tahun. Berhasil.
Tim itulah yang kelihatannya akan menangani transplantasi Pasien No. 91 sebentar hari lagi.
Memang tingkat sukses transplant paru ini masih rendah –dibanding transplantasi organ lainnya. Tapi kemajuan terus terjadi. Tahun lalu sudah 80 persen pasien transplant paru yang bisa hidup lebih dari 1 tahun.
Yang bisa hidup lebih dari lima tahun baru 30-50 persen. Yang bisa 8 tahun lebih kecil lagi.
Tapi tetap saja ada campur tangan Tuhan. Saya dulu –tahun 2006– juga sudah diberi tahu: maksimal bisa hidup 5 tahun lagi. Bisa jadi benih-benih kanker akan muncul lagi. Saya diminta berpikir ulang.
Saya pun tetap memutuskan transplant. Kanker saya sudah memenuhi hati. Badan saya sudah bengkak. Wajah saya sudah menghitam.
Saya sangat siap untuk transplant. Tambah umur lima tahun sangatlah lumayan. Berarti akan meninggal umur 60 tahun. Sudah lebih pantas.
”Kalau organ yang lain masih tetap baik, lima tahun kemudian bisa transplant lagi,” ujar dokter waktu itu –memberi harapan tambahan.
Saya diam saja. Lima tahun masih lama. Dipikir kelak saja.
Menjelang lima tahun itu saya diperiksa detail sekali: tidak ada tanda-tanda munculnya kanker hati yang baru.
Alhamdulillah.
Lima tahun kedua diperiksa lagi. Tetap bersih.
Alhamdulillah.
Dua tahun lagi adalah lima tahun ketiga.
Kondisi badan pilot di Vietnam itu juga sangat baik. Semua organ lainnya masih mendukung. Kans untuk sukses sangat besar. Apalagi kalau kedisiplinan setelah transplant tetap tinggi –disiplin makan obat, atur diet, dan gaya hidup.
Bahkan di Amerika sudah ada bukti. Pasien transplant paru –tahap awal dulu– masih hidup sampai sekarang. Sudah 26 tahun.
Namanya: Tom Mathews. Umurnya saat ini 55 tahun.
Peristiwa itu terjadi ketika umurnya 29 tahun. Di Cleveland, Ohio. Saat itu transplant paru baru dua tahun dicoba.
Tom memenuhi syarat untuk ditransplantasi. Ia sudah terancam meninggal segera. Ia menderita penyakit turunan: cystic fibrosis –lendir di paru yang mestinya cair menjadi lengket.
Organ lainnya baik.
Tom sehat kembali. Ia pun kawin dengan Kim. Lalu mengambil dua anak angkat: laki dan perempuan –kini berumur 22 dan 20 tahun.
Sepuluh tahun kemudian Tom harus transplant lagi. Kali ini lebih mudah: transplant ginjal. Mungkin akibat efek samping obat yang harus diminum rutin pasca transplant. Agar paru yang baru itu tidak ditolak oleh badan Tom. Efek samping obat itu memang tidak baik untuk ginjal, diabetes dan darah tinggi.
Mungkin yang terakhir itu pula yang membuat saya terkena tekanan darah tinggi. Sampai terjadi aorta dissection –pembuluh darah utama saya pecah sepanjang 50 cm. Itu terjadi di Madinah, Arab Saudi, tepat 10 tahun setelah transplant hati.
Itulah pandangan positif saya –daripada mengaku darah tinggi itu akibat sesuatu yang sia-sia itu.
Saya pun ikut optimistis pilot di Vietnam itu akan masuk golongan yang sukses. Bisa berumur panjang. Ia muda. Ia pilot –yang biasanya disiplin. Ia bukan wartawan –yang biasa urakan. Ia tidak merokok. Apalagi di Vietnam banyak gadis cantik nan jelita –seperti digambarkan dalam teater Miss Saigon. (Dahlan Iskan)