Menyalahkan gubernur sudah. Menyalahkan ilmuwan medis sudah.
Menyalahkan Tiongkok sudah. Pun menyalahkan pendahulunya, Barack Obama.
Tapi yang meninggal akibat Covid masih terus naik. Hari ini mencapai 100.000 orang. Di Amerika Serikat.
Kini Presiden Donald Trump ganti menyalahkan angka itu.
Ia mempersoalkan banyaknya orang mati biasa dibukukan akibat Covid-19. Padahal mereka mati karena penyakit yang lain.
Untuk Amerika, angka yang akan segera melewati 100.000 itu bakal melebihi korban perang. Termasuk perang dunia pertama. Juga kekalahan di perang di Vietnam.
Angka itu ”berarti banget”. Itulah sebabnya harian paling bergengsi di Amerika, The New York Times, menerbitkan edisi khusus. Hari Minggu kemarin. Sangat mengejutkan. Sangat tidak biasa: halaman depan harian itu hanya berisi daftar nama yang meninggal.
Tanpa judul.
Tanpa foto.
Hanya deretan 100.000 nama dengan huruf yang sangat kecil.
Halaman depan koran dengan wujud seperti itu saya artikan sebagai protes. Sebagai kritik.
NYT seperti beranggapan kritik dalam bentuk berita sudah tidak mempan. Judul-judul besar seperti tidak berarti. Pun foto-foto dramatik.
”Saya sudah setengah abad membaca The New York Times. Belum pernah menemukan halaman depan seperti ini,” ujar seorang pembaca di New York –yang saya kutip di sini dari media di sana.
Melihat halaman depan seperti itu, saya pun, bisa merasakan sensasinya. Lihatlah foto halaman depan itu –yang saya sertakan di sini.
Itulah wajah depan The New York Times yang putih.
Bentuk protes seperti itu tidak akan bisa dilakukan media online.
Dulu, di Indonesia, juga pernah terjadi. Di zaman Orde Baru. Ketika kebebasan pers sangat terkekang. Pers bisa diberedel. Pemerintah sering melarang pembuatan suatu berita. Kadang dengan kerdipan mata. Lebih sering lewat telepon.
Dering itu kadang baru berbunyi tengah malam. Ketika berita yang dimaksud sudah telanjur ditata di percetakan.
Sulit sekali.
Kalau harus diganti bisa gawat –akan telat terbit. Apalagi wartawannya juga sudah telanjur pulang.
Maka redaksi yang pemberani akan mencopot berita itu. Begitu saja. Untuk diganti blok hitam. Besoknya koran terbit seperti wajah cantik yang dicoreti arang di pipinya.
Pembaca pun mafhum: ada yang lagi disensor. Lalu kasak-kusuk. Masyarakat pun cari bocorannya: ada peristiwa apa? Bocoran itu lebih seru dari aslinya.
Hitam itu sebagai protes.
Putih itu sebagai protes.
Marah dalam diam sampai hitam. Pun sampai putih.
The New York Times bisa memadukan antara jurnalistik, kontrol sosial, protes, dan marah dengan bungkus artistik.
Memang redaksinya sudah lama jengkel terhadap Trump –pun sejak ia belum jadi presiden. Maka, ketika angka-angka korban Covid terus membumbung, mereka sampai pada kesimpulan: pasti akan mencapai 100.000 orang. Itu karena media melihat Presiden Trump kurang serius menangani Covid-19.
Apa yang akan dilakukan media seperti The New York Times?
Diskusi internal pun dilakukan. Melibatkan staf artistik. Banyak ide yang muncul: penuhi saja halaman depan dengan foto-foto wajah korban –kecil-kecil.
Tapi itu sudah biasa. Dan halaman depan itu akan terlihat kotor.
Ada pula ide halaman depan itu dipenuhi saja titik-titik. Sebanyak 100.000 titik. Ide ini dianggap kurang menusuk ke relung hati.
Akhirnya diputuskan nama-nama itu. Saya mengagumi ide itu. Dan mengagumi yang menyetujui ide itu.
Tapi mengapa korban di sana sampai 100.000?
Trump pernah tidak menduga akan sebesar itu. Ia pernah menganggap Covid itu begitu sepele. ”Kan hanya 15 orang yang terkena virus,” katanya akhir Februari lalu. ”Dalam beberapa hari lagi akan teratasi. Akan menjadi nol,” tambahnya.
Sewaktu yang mati ternyata mencapai 30.000 orang ia baru mengatakan ini: kemungkinan yang mati akan mencapai 70.000 sampai 100.000. Tapi ia punya maksud khusus dengan menyebut angka besar itu. Maksudnya: kalau ternyata yang mati 50.000 ia bisa membanggakan diri: lebih kecil dari perkiraan.
Ketika angka sudah melewati 50.000, ia mengutip perkiraan ahli: akan sampai 200.000. Agar –kalau ternyata 100.000– ia masih bisa bangga: jauh di bawah perkiraan.
Di mata Trump, bisa saja, yang mati itu memang hanya angka-angka. (Dahlan Iskan)