PSBB TTH

0
44

Diperpanjang? Atau tidak?

Masyarakat terbelah. Di semua negara. Ada yang belah bambu. Ada yang belah ketupat.

Yang menginginkan PSBB diperpanjang umumnya tenaga kesehatan dan ilmuwan.

Orang mampu juga ingin PSBB diperpanjang. Diperpanjang satu tahun pun mereka tetap TTH –tabungan tidak habis.

Yang menginginkan tidak diperpanjang adalah yang ekonominya pas-pasan. Yang tidak punya uang –kalau hari itu tidak bekerja.

Di negara maju persoalan yang terakhir itu bisa diatasi dengan mudah: pemerintah memberi mereka uang. Yang di Amerika Rp 15 juta/bulan.

Para pengusaha juga pro diakhiri. Dengan PSBB usaha mereka macet.

Alasan tenaga medis jelas: rumah sakit akan kelelahan. Mereka tidak akan mampu menangani meledaknya penderita baru Covid-19.

Apakah PSBB selama ini berhasil?

Berhasil. Kalau targetnya hanya membuat penularan tidak gila-gilaan. Buktinya belum pernah ada penambahan penderita baru yang sampai ribuan orang/hari.

Tidak sampai seperti di Amerika –30.000 orang sehari. Selama lebih satu bulan. Sekarang pun –yang sudah dianggap reda– masih sekitar 15.000/hari.

PSBB berhasil.

Kalau penambahan itu tetap sekitar 900 orang/hari. Dengan angka itu tenaga medis pun masih bisa dimampu-mampukan.

Rupanya pemerintah cukup puas dengan angka pertambahan seperti itu. Itulah sebabnya pelonggaran-pelonggaran dilakukan. Mal-mal dibuka.

Tentu tenaga kesehatan yang waswas. Apalagi tingkat ketaatan masyarakat terhadap PSBB masih seperti itu –berjubelnya.

Sebenarnya berapa persenkah tingkat ketaatan masyarakat terhadap PSBB?

Belum ada lembaga riset yang mengumumkannya.

Saya sendiri memperkirakan 70 persen. Angka itu boleh ditawar. Anda pasti punya angka sendiri.

Sebenarnya ketaatan 70 persen itu cukup bagus. Tapi sisa 30 persen itu juga masih sangat banyak. Yang membuat seolah PSBB setengah-setengah.

Saya sendiri juga tidak taat 100 persen. Mungkin 93 persen. Saya masih ke secuil kebun di luar kota. Sesekali. Juga tidak pakai masker selama dalam perjalanan mobil itu.

Saya juga masih rutin ke pabrik. Seminggu tiga kali. Dengan selalu mengenakan masker dan jaga jarak.

Pabrik itu –PT Ensterna Indonesia– harus selesai: sebulan lagi. Investasinya hampir Rp 200 miliar. Yang akan sangat diperlukan oleh negara –untuk mendukung ekspor.

Itulah pabrik irradiasi –fasilitas untuk mematikan virus, bakteri, dan segala macam kuman. Banyak negara maju mensyaratkan bebas bakteri/virus/kuman untuk barang yang mereka impor.

Buah tropik yang kita ekspor pun akan lebih awet bila dilewatkan mesin irradiasi itu –tanpa menggunakan kimia.

Pabrik seperti itu cita-cita lama saya. Agar ekspor kita lebih bisa digalakkan. Dan agar penggunaan kimia bisa berkurang –misalnya untuk popok bayi. Selama ini kimia banyak digunakan karena fasilitas seperti ini tidak ada. Padahal di Tiongkok –yang gila ekspor itu– setiap kota pasti memilikinya. Di satu kota Shanghai saja ada 50-an fasilitas irradiasi.

Kembali ke PSBB.

Ups…

Ketaatan saya rasanya hanya 87 persen. Sudah lebih tinggi dari rata-rata 70 persen tadi. Saya total makan di rumah –kebetulan istri hobi masak. Cukur rambut pun oleh anak wedok –sekalian agak digundul.

Jadi, diperpanjang atau tidak?

Di Tiongkok memang sudah nyaris tidak ada lagi penderita baru. Beberapa hari terakhir ini. Tapi panti pijat, nightclub, dan bioskop masih wajib tutup. Selebihnya sudah bebas.

Di banyak negara juga sudah dilonggarkan. Meski penderita baru masih cukup banyak. Di Rusia memang masih tinggi –tapi jumlah yang meninggal tidak banyak.

Tinggal Brazil yang masih mengkhawatirkan. Seperti di Amerika, sikap presidennyalah yang dianggap sebagai gara-gara.

Diperpanjang atau tidak?

Untungnya, penularan virus ini hanya lewat percikan air liur atau ingus. Bukan virus yang beterbangan di udara.

Kalau pun PSBB tidak diperpanjang kedisiplinan memang harus naik –disiplin masker, jaga jarak dan cuci tangan dengan sabun.

Memang akan ada opini negatif, setengah guyon: kalau PSBB tidak diperpanjang berarti KUKMK –karep-karepmu: urip karepmu, mati karepmu. Terserah Anda, mau hidup atau mau mati.

Seperti pesawat auto pilot. Lebih parah dari itu.

Tapi, biarpun canda, KUKMK mengandung unsur pendidikan: Anda akan tetap selamat kalau hati-hati.

Bagaimana kalau penderita barunya nanti meledak tak terkendali?

Rumah sakit akan kelelahan.

Sekaligus kita menyadari bahwa manajemen kita kurang bagus.

Memang sayang sekali: kita tidak punya pun sekedar grup WA –atau yang sejenisnya– yang anggotanya khusus penderita diabetes.

Mungkin karena jumlahnya terlalu banyak. Tapi kan bisa dikelompokkan lebih kecil. Berdasar tingkat keseriusannya maupun berdasar wilayah.

Bisa saja grup WA itu dibagi tiga: grup WA diabetes yang sudah cuci darah, grup yang sudah tahap suntik insulin, dan grup yang sudah makan obat.

Mungkin, siapa tahu, ada kepala daerah yang mau melangkah ke sana.

Kalau per kabupaten terlalu luas, bisa dibagi per kecamatan.

Di saat tidak ada lagi PSBB grup WA seperti itu akan efektif.

Demikian juga grup WA penderita tekanan darah tinggi. Yang kalau jumlahnya terlalu banyak juga bisa dibagi. Terutama untuk yang punya komplikasi dengan penyakit lain.

Kelompok tersebut bisa ditangani secara khusus. Justru sebelum mereka tertular Covid-19. Daripada mereka memenuhi rumah sakit.

Memang diperlukan manajemen yang sungguh-sungguh serius. Tapi saya yakin banyak kepala daerah kita yang mampu. Bupati Banyuwangi, Bupati Kulon Progo, Belitung, dan banyak lagi sudah membuktikan mampu. Tinggal menambah ke bidang ini.

Teknologi sudah ada. Termasuk untuk mengontrol kedisiplinan mereka.

Kalau perlu adakan apps khusus untuk mereka. Tiap hari mereka wajib mengisi apa saja yang mereka makan. Juga yang mereka minum.

Penyakit-penyakit tadi sangat erat dengan apa yang mereka konsumsi.

Bagi yang bisa disiplin bantuan akan diteruskan. Bagi yang makan-minumnya sembrono diperingatkan.

Sudah lama saya setuju dengan fatwa Profesor Kenichi Ohmae: tidak ada negara kaya dan negara miskin; yang ada adalah negara dengan manajemen baik dan negara dengan manajemen yang kurang baik.

”Nabi” nya ilmu manajemen itu ingin mengatakan: semiskin apa pun negara itu akan menjadi kaya kalau manajemennya baik. Contohnya banyak, termasuk Jepang dan Singapura.

Sebaliknya negara kaya pun akan jadi miskin kalau manajemennya tidak baik.

Saya tidak tahu negara mana contohnya. (Dahlan Iskan)