Pemerintah Kota Bogor “Kebobolan”

0
36
Fathulloh Fawait

“Salus populi suprema lex exto”

Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.

Kita lewati sebentar adagium hukum diatas.

 

Tercatat  bertambah 16 orang kasus positif covid-19 di kota Bogor pada Rabu 10 Juni 2020. Yang menurut keterangan langsung Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto diduga bersumber dari rumah sakit lingkungan pemerintah kota dan luar kota Bogor.

Tiga tamparan tentunya. Pertama, Rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat untuk membunuh virus justru menjadi tempat hidup dan tersebarnya virus covid-19.

Hentikan wacana centralisasi isolasi di RSUD jika belum siap. Jangan sampai orang yang belum pasti terpapar covid 19 menjadi menjadi terpapar akibat sarana isolasi yang belum siap.

Kedua, Lingkungan pemerintah kota (balai kota), bagaimana bisa pusat pemerintahan terindikasi menjadi tempat penyebaran virus ini. Tempat yang seharusnya menjadi contoh terlaksana nya protokol kesehatan malah ‘kebobolan’.

Ketiga, bersumber dari luar kota Bogor. Seakan mengkambing hitamkan daerah lain. Memang akhir-akhir ini pasca diberlakukannya PSBB transisi di Kota Bogor terjadi lonjakan aktivitas masyarakat. Hilir mudik masyarakat mencari kebutuhan hidupnya. Stasiun dan pasar menjadi ladang masyarakat.

Apa boleh buat mungkin masyarakat sudah mulai bosan. Protokol kesehatan seperti iklan yang disampaikan pemerintah kota Bogor.

Banyaknya pelanggaran aturan protokol kesehatan menjadi salah satu indikator bahwa kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap kebijakan pemerintah sangat minim.

Ini harus menjadi evaluasi bersama apabila kepercayaan sudah tidak ada, maka harmonisasi hidup sebagai tujuan dibuatnya aturan tidak akan tercapai.

Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 46 tahun 2020 tentang PSBB proporsional agaknya belum sepenuhnya berjalan di kota Bogor. Pun Peraturan Walikota Bogor nomor 30 tahun 2020 sebagaimana diubah dengan Perwali nomor 44 tahun 2020 tentang PSBB dikota Bogor.

Benar-benar kebobolan, istilah “berdasarkan hasil kajian dan evaluasi” Yang sering disampaikan walikota Bogor di beberapa media massa dari awal penerapan PSBB ternyata belum matang, antisipasi pemerintah kota Bogor terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi akibat penerapan PSBB transisi sama sekali tidak ada.

Kebijakan yang tidak komprehensif menjauhkan tujuan kebijakan itu sendiri. Jauh dari harapan, keluhan masyarakat bervariasi, tapi pemkot belum sepenuhnya memberi solusi.

Kebijakan baru yang diharapkan menuju era new normal malah menjadi boomerang. Kebobolan. “Musuh yang tak terlihat, apa ini yang menjadi alasan pemkot kebobolan?”

“Pak walikota tolong di evaluasi juga kinerja bawahannya”

Ini harus menjadi ‘tamparan’ semua pihak. Forkopimda tanpa masyarakat akan kebobolan lagi.  Evaluasi, terjadi lagi, evaluasi lagi, terjadi lagi evaluasi lagi. Sampai kapan?

Maka adagium diatas seharusnya dapat di terjemahkan secara kompleks oleh pemerintah Kota Bogor.

 

* Fathulloh Fawait (Sihol)

Ketua DPD Mahasiswa Pancasila Kota Bogor.