Karakter Masyarakat Jadi Faktor Hoaks Tumbuh Subur

0
33
Webinar yang diadakan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang dipandu Duta Literasi Nasional, Najwa Shibab
Webinar yang diadakan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang dipandu Duta Baca Indonesia, Najwa Shibab]

RADAR BOGOR, Berita palsu atau hoaks bukanlah barang baru. Sejak manusia diciptakan, virus hoaks sudah ada dan terus berkembang seiring zaman. Banjir bandang informasi menyebabkan masyarakat sulit membedakan informasi mana yang benar dan bohong. Ini tantangan dalam mengelola informasi.

“Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang suka ngobrol. Lebih-lebih di media sosial, dimana pengguna Facebook dan Instagram di Indonesia menyentuh angka puluhan juta,” beber Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab, pada Webinar Perpusnas ‘Mencegah Hoaks Dengan Membaca’, pada Jumat siang (26/6).

Najwa mengakui ada beberapa alasan kenapa hoaks bisa beredar cepat. Pertama karakter masyarakat Indonesia yang suka ngobrol, sehingga lebih rentan terkena hoaks. Kedua, masyarakat Indonesia juga lebih percaya jika mendapatkan informasi dari orang-orang terdekat. Ketiga, situasi yang mempengaruhi terlebih di saat pandemi. “Ini yang membuat hoaks tumbuh subur karena masyarakat masih sulit mencari referensi Covid-19 yang terhitung baru,” tambah Najwa.

Najwa berpesan agar berhati-hati dengan judul berita yang provokatif, cermati alamat situs, abal-abal atau tidak. Lalu, cek keaslian foto. Saat ini sudah banyak aplikasi yang disediakan untuk mengecek keaslian sumber informasi, gambar, dan foto-foto.

Mewabahnya hoaks di Indonesia salah satu sebabnya adalah belum ajegnya budaya baca secara fisik dengan buku-buku, lalu dengan cepat beralih ke budaya baca digital.

Budaya baca digital memerlukan kemampuan literasi yang kuat. Dan masyarakat Indonesia masih rentan karena belum mampu memilih serta memilah informasi yang tepat dan sesuai kebutuhan.

“Membaca buku secara fisik akan membawa karakter yang tidak mudah percaya dengan kiriman informasi. Punya rasa penasaran, berhati hati dalam mengambil keputusan, dan terbiasa mencari benang merah dari yang dibacanya. Tidak mudah dibohongi. Sedangkan membaca buku secara digital, biasanya yang dibaca hanya poin-poin atau sepotong-potong,” urai Nana, sapaan akrab Najwa. (*)