BOGOR – RADAR BOGOR, Pengobatan alternatif menjadi pilihan di tengah pandemi Covid-19. Terutama bagi mereka yang menghindari momok rumah sakit musabab kekhawatiran penyebaran virus corona. Nun jauh di daerah perbatasan Bogor-Sukabumi, para “profesor” patah tulang telah menurunkan ilmunya dari generasi ke generasi. Salah satunya, Ugan Fatony M.
Butuh waktu satu jam dari Kota Bogor untuk mencapai lokasi di area dataran tinggi, Desa Cimande, Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Jalan yang sempit memaksa kendaraan-kendaraan harus berbagi lajur Sesekali, mobil dibuat menepi untuk meloloskan mobil dari arah berlawanan. Hal itu dipersulit dengan kondisi jalan yang cenderung menanjak.
Akan tetapi, kesulitan semacam itu sama sekali bukan beban bagi orang-orang yang telah mengetahui kemujaraban pengobatan alternatif Cimande. Mereka rela menempuh jarak sejauh itu untuk menemui ahlinya tukang urut. Pijat dan urut selalu menjadi obat jitu segala penyakit di tempat itu.
Tulang yang patah bisa tersambung kembali. Saraf yang terjepit bisa jadi normal dalam hitungan hari. Bahkan seandainya vonis dokter sudah tak menyisakan harapan, Cimande selalu menawarkan kesembuhan dengan berbagai ramuan pengobatan alternatifnya. Salah satunya, melalui teknik urut yang diwariskan turun-temurun di keluarga Ugan Fatony.
Lelaki berusia 70 tahun itu menjumpai Radar Bogor di saung pribadinya. Saung yang dijulukinya sebagai villa itu menjadi tempat menerima pasien dan tamu. Suasananya dibuat sederhana. Meski pembangunannya belum rampung, sudah bisa membuat betah siapa saja yang berkunjung.
Halamannya cukup luas untuk memarkir tiga mobil. Diapit pemandangan arah timur dan barat, masing-masing landscape pegunungan Salak dan Gede Pangrango. “Kalau pagi, bisa lihat pemandangan gunung itu (Salak), karena tidak tertutup embun. Kalau sore, biasanya ketutup kabut,” ungkapnya, di sela-sela menyambut Radar Bogor.
Bersamaan dengan itu, beberapa orang juga tiba di saung tersebut. Mereka adalah keluarga pasien yang sementara menjalani pengobatan Ugan. Ugan tak punya ritual khusus dalam menjalankan pengobatannya. Ia cenderung terlihat sangat santai dengan sarung dan baju koko putih. Kepalanya dibalut songkok. Orang-orang pun lebih akrab menyapanya dengan julukan “Pak Haji”. Kelakar tak sungkan keluar dari mulutnya.
Menurut dia, teknik urutnya telah diturunkan dari generasi ke generasi. Ia menjadi generasi keempat yang menerima keterampilan dalam memainkan otot-otot tangannya. Hanya dengan menempelkan tangan di beberapa bagian tubuh, ia sudah bisa meniti pembuluh darah dan masalah tulang yang dialami pasiennya. Masalah urat tak jauh-jauh dari teknik urut. “Kata bapak saya, asal manusia masih bisa bernapas, regenerasinya itu masih berjalan,” tutur lelaki beranak sepuluh ini.
Pesan itu yang menjadi bekalnya dalam mengobati pasien. Hampir sebagian besar pasiennya mengalami patah tulang, karena kecelakaan. Sisanya tak jauh-jauh dari masalah urat, misal saraf terjepit yang menyebabkan lumpuh.
Pengalaman Ugan bukan main. Pamornya telah sampai ke negara-negara tetangga. Mulai dari Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Iran, hingga Abu Dhabi. Ia dan beberapa anaknya kerap diminta secara khusus untuk mengobati orang-orang dari negara tersebut. Lantaran pengobatan medis dianggap tak menunjukkan perkembangan apa-apa dalam menangani masalah otot dan tulang itu.
“Bahkan, dulu ada dokter spesialis bedah yang datang kesini minta diurut. Dia tidak mau kalau dioperasi. Alhamdulillah, bisa kembali normal. Profesor juga ada (yang pernah datang),” tuturnya menceritakan berbagai tipe pasiennya.
Ugan bahkan pernah “disandera” di Arab Saudi lantaran keterampilannya mengurut itu. Pasiennya, yang semula hanya bisa terbaring lemah tak berdaya ingin bisa kembali duduk, berdiri, hingga berjalan kembali.
Targetnya, harus ada progres pasien dari tanah Arab itu selama 15 hari. Ia pun berhasil memenuhi permintaan itu. Sayangnya, genap 15 hari, paspornya ternyata masih ditahan oleh keluarga pasien. Padahal pasien itu sudah bisa duduk. Ia diminta untuk melanjutkan kembali pengobatannya hingga pasien bisa berdiri hingga berjalan.
Karena pengalaman “nyentrik” itulah, ia pun mulai pikir-pikir selama ada permintaan pengobatan lagi di tanah Arab. Tak terkecuali yang baru-baru dipertimbangkannya, yakni di Dubai. Ugan tentu tak ingin kejadian yang sama terulang kembali.
Selain teknik urutnya yang khas, “klinik” di Cimande juga dibekali dengan minyak urut buatan lokal. Tanpa merek. Tanpa produksi besar-besaran. Menurut Ugan, minyak dengan resep warisan turun-temurun itu tidak diperjual-belikan. Rahasia nenek moyangnya.
Mereka membuatnya khusus untuk keperluan pengobatan alternatif di Cimande. “Kalau ada yang mau bawa pulang, kita kasih sebagai hadiah saja,” ucapnya memperlihatkan botol kecil berisi minyak urut.
Di dalam kamar pengobatan rumahnya, malah berjejer puluhan botol besar berisi minyak berkhasiat itu. Warnanya selintas mirip madu. Cimande memang selalu ramai dengan masyarakat dari luar daerah.
Beberapa diantara mereka merupakan pendatang yang sedang berobat. Ugan punya rumah khusus untuk menampung pasien-pasiennya. Radar Bogor sempat diajak berkeliling melihat kondisi beberapa pasiennya yang sudah mengalami perkembangan.
Rumah itu layaknya kamar kontrakan yang dipisahkan sekat per kamar. Lantaran beberapa penyakit butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa sembuh. Ia pun bertindak selayaknya dokter yang harus memantau perkembangan pasiennya hampir setiap hari.
“Prinsipnya, (kalau ada yang bertanya bisa atau tidak), salah kalau dibilang bisa. Namun, yang ada itu kita ikhtiarkan. Kalau mau, ayo kita ikhitiarkan,” cetus lelaki yang pernah mengobati kerabat penyanyi era 80-an, Dian Pisesha, di Malaysia ini.
Kendati demikian, pengobatan alternatifnya juga sempat mengalami “vakum”. Alasannya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal pandemi yang lalu itu membuat masyarakat hanya bisa tinggal di rumah. Tentu saja, perjalanan lintas daerah diawasi dengan sangat ketat.
Barulah memasuki masa transisi menjelang New Normal ini, pasien-pasiennya kembali membeludak. Ia sampai harus menyiapkan nomor antrean dengan jumlah pasien yang berjumlah puluhan dalam sehari.
“Waktu PSBB juga kita tetap bersyukur. Alhamdulillah juga karena untuk saya. Selama PSBB, bisa ke sawah lagi, ke kebun lagi, karena pasiennya kan tidak ada. Kalau sekarang banyak, tetapi saya harus batasi cuma mampu sampai jam 11 malam. Selebihnya saya dibantu anak-anak atau Pak Firman (tetangganya),” pungkas sesepuh tukang urut di Cimande ini. (mam/d)