Dapat 3 I

0
42

Inilah tamu pertama saya di kantor baru Harian DI’s Way di Surabaya: bupati yang punya 36 perusahaan. Grup perusahaan itu ia rintis sejak masih kelas 3 SMA.

Kini umurnya baru 40 tahun. Ganteng. Kaya.

Itulah Bupati Nganjuk, Jawa Timur.

Ia jadi bupati karena gemes: kok kampung halamannya tidak maju-maju. Ia tinggalkan perusahaannya. Ia serahkan manajemen ke para profesional. ”Saya beri mereka saham. Agar lebih merasa memiliki,” ujar Novi Rahman Hidhayat, sang bupati.

Sebelum ke politik semua keluarganya ia tarik dari perusahaan. Agar manajemen profesional tidak terganggu pengaruh keluarga.

Bupati Novi punya tambang nikel, batubara, 120 bank perkreditan rakyat, dan banyak lagi.

Gajinya sebagai bupati ia serahkan ke lembaga kesejahteraan rakyat. Mobil-mobil dinas bupati tidak ada yang ia pakai. Semua pegawai negeri harus membayar zakat –yang hasilnya dikelola tim untuk mengatasi kemiskinan.

Tiap Jumat ia pindah masjid: khotbah. Usai Jumatan bertemu masyarakat di sekitar masjid. Novi mencari tahu apakah masih ada rumah yang tidak layak huni. Dengan dana zakat itu rumah tersebut dipugar.

Kalau rumah-rumah itu sudah baru, Novi ke masjid itu lagi. Membawa tumpeng. Sebagai tanda peresmian. Satu rumah satu tumpeng. Foto tumpengan itu dibesarkan. Dipasang di rumah baru.

Itu terjadi nyaris setiap Jumat. Selama dua tahun terakhir.

Novi juga mengubah Hari Buruh di Nganjuk. Menjadi lebih spiritual. Dari yang biasanya lebih tegang. Di mana-mana.

Di malam sebelum Hari Buruh (1 Mei), Novi mengadakan sema’an besar-besaran. Semacam istIghosah. Lokasinya di kampung pahlawan buruh: Marsinah.

Makam Marsinah memang di di Nganjuk. Wanita itu terbunuh sebagai martir di zaman Orde Baru. Di dekat makam itulah sema’an akbar dilangsungkan.

Keesokan harinya, tanggal 1 Mei, diadakan Haul Marsinah. Di seluruh Nganjuk. Acaranya: khataman Alquran di masjid-masjid. Hari itu tidak ada demo atau pawai buruh di kabupaten itu.

Sebagai pemilik 36 perusahaan, dengan total karyawan 40.000 orang, Novi terbiasa membuat keputusan cepat. Mula-mula birokrasinya sulit mengejar.

Akhir 2018, setelah beberapa bulan menjabat ia tunjukkan kecepatan geraknya. Di hari terakhir bulan Desember, ia kumpulkan kepala-kepala dinas. Ada yang mengira itu untuk ikut perayaan malam tahun baru.

Ternyata Novi memberi ”hadiah” tahun baru yang tidak biasa: 18 kepala dinas diganti. Berlaku mulai malam tahun baru itu juga.

Tanggal 1 Januari keesokan harinya, Novi tancap gas. Birokrasi barunya sudah seperti para manajer perusahaan.

Novi ingin segera membuka kawasan industri. Yang pertama di seluruh karesidenan Kediri. Luasnya 600 hektare –untuk tahap pertama.

Ia tidak mau kehilangan momentum: jalan tol Surabaya-Jakarta sudah hampir jadi. Saat itu. Melewati Nganjuk. Alangkah tepatnya kalau ada kawasan industri di dekat jalan tol itu.

Ia tetapkan lokasi kawasan industri itu. Perizinannya harus cepat. Penyiapannya harus lekas.

Harga tanah di Nganjuk masih lebih murah dari wilayah di sekitar Surabaya. Jarak ke pelabuhan Tanjung Perak juga kurang dari 2 jam –berkat jalan tol.

Dalam waktu setahun kawasan itu sudah jadi. Seperti afdruk kilat. Kini sudah lebih 60 perusahaan masuk kawasan industri itu.

Novi juga membangun ”lumbung RW”. Setiap ketua RT menjadi pimpinan unit bisnis untuk warganya. Khususnya petani.

Di setiap RW selalu ditemukan rumah kosong. Yang ditinggal generasi anak-cucu ke kota. Rumah kosong itu dijadikan gudang. Disewa.

Petani satu kampung menyerahkan gabah ke pak RW. Untuk disimpan di gudang tadi.

Pak RW-lah yang mengolahnya menjadi besar. Lalu menjualnya.

Setelah laku Pak RW membayar ke petani. Dengan harga 10 persen lebih tinggi dari harga pasar. Petani memperoleh harga lebih baik.

Saya belum mau menulis soal ini secara lengkap. Jangan dulu dipercaya. Saya (atau wartawan DI’s Way) harus lebih dulu menelusuri sendiri tingkat keberhasilannya. Dalam waktu dekat.

Rasanya Nganjuk akan bisa seperti Banyuwangi –yang majunya cepat sekali. Novi punya potensi menjadi Azwar Anas –Bupati Banyuwangi yang sukses itu.

Dua-duanya santri NU. Sama-sama pula dicalonkan oleh PDI-Perjuangan. Sama-sama mudanya. Hanya Novi lebih kaya harta. Anas lebih kaya pengalaman politik.

Dalam hidupnya Novi tidak pernah masuk organisasi. Waktu masih pelajar atau mahasiswa pun tidak ikut IPNU atau PMII.

Selepas SMPN 1 Nganjuk Novi diminta ibunya melanjutkan ke pondok. Novi pun masuk Darul Ulum, Peterongan, Jombang.

Di ”Pondok Bintang Sembilan” itu tidak hanya ada madrasah. Ada juga SMA Unggulan. Yakni SMA proyek BPPT-nya Alm Prof BJ Habibie. Ke situlah Novi sekolah. Yang kalau tamat bisa langsung ke Institut Teknologi Indonesia.

Waktu kelas 2 SMA itu ruang kelasnya di lantai atas. Lantai bawah digunakan untuk SMP. Setiap kali turun dari lantai atas matanya terantuk pandang mata seorang siswi SMP di lantai bawah.

Jatuh cinta.

Seorang temannya menjadi kurir surat-menyuratnya dengan siswi SMP asli Jakarta itu. Pakai cara lama: lewat pertukaran buku pelajaran –yang berisi surat cinta.

”Waktu menunggu buku pelajaran berisi surat cinta itu berdebarnya bukan main,” ujar Novi mengenang.

Surat-surat cinta itu ia simpan sampai sekarang. Ia taruh di brankas uang. Dikunci mati dengan kunci rahasia kombinasi.

Itulah cinta pertama dan terakhirnya. Mereka menikah setelah si siswi tamat SMA –dan Novi belum lulus sarjana ekonomi di Universitas Brawijaya. Ia tidak jadi masuk ITI karena sudah mulai berbisnis.

Di Darul Ulum Novi mendapat tiga ‘i’ : ijazah, istri, dan infus. Sambil sekolah Novi masih bisa cari uang: membeli plastik bekas. Untuk dijual ke pabrik pengolahan biji plastik.

Saat kelas tiga SMA meningkat menjadi dagang bijih plastik.

Sambil kuliah pun Novi terus mengembangkan bisnisnya. Semua itu terinspirasi dari ayahnya: pengusaha hasil bumi, ternak, dan jasa perdagangan.

Kini sang ayah tidak berbisnis lagi. Hijrah sepenuhnya ke bidang lain: mengurus pesantren yang didirikannya di Kediri. Yang siswanya tidak perlu membayar: TK, SD, Ibtidaiyah, Aliyah, dan SMK.

Di Nganjuk perusahaan Novi memiliki 2.000 karyawan. Merekalah –di tahun 2017–yang dikerahkan untuk menaikkan rating pencalonannya sebagai bupati.

Mereka itu yang memasang 6.500 lebih poster besar di semua RT di Nganjuk.

Isi poster sangat simple: foto dirinya dengan baju hem putih dan kopiah hitam. Tidak banyak tulisan di poster itu. Bunyinya hanya: Mas Novi, Calon Bupati.

Tidak ada jargon, motto atau pun gelar-gelar. Prinsip-prinsip marketing ia jalankan.

Hasilnya: popularitas Novi tiba-tiba melangit, 70 persen. Dari sebelumnya hanya 8 persen.

Partai-partai pun mengincarnya. Terutama PDI-Perjuangan dan PKB. Tingginya rating Novi membuat ia tidak perlu mencari partai. Kendaraan politik itu datang sendiri.

Ia sama sekali tidak perlu membayar mahar ke PDI-Perjuangan. Tidak juga ke PKB. Ayahnya akrab dengan kiai-kiai utama di PKB.

Hanya saja ia harus menggandeng kader PDI-Perjuangan sebagai wakil.

Hasil kerjanya sangat nyata. Hasil surat cinta di dalam buku pelajarannya pun nyata: anaknya lima orang. Yang tertua kuliah di Yaman. Di Darul Mustofa di Kota Tarim.

Di sana ia masuk pesantren milik leluhurnya sendiri itu –dari jalur istri Novi.

Yang kedua dan ketiga wanita. Dua-duanya masuk SMK animasi Umar Said yang disponsori Djarum di Kudus. Yang keempat masih tsanawiyah (SMP). Dan yang kelima, masih SD. Dua-duanya di Nganjuk.

Semua anaknya itu lagi menghafal Alquran –ikut ibunya yang juga hafal Alquran.

”Anda hafal Alquran juga?” tanya saya kepada Novi.

”Saya hafal fulus,” gurau Novi.(Dahlan Iskan)