Kapal Oleng

0
46

Tidak semua asap ada apinya. Tapi wacana pembubaran OJK (Otoritas Jasa Keuangan) ada penyebabnya. Banyak. Misal, lemahnya pengawasan oleh OJK itu. Sampai-sampai terjadilah mega skandal. Seperti kasus Jiwasraya.

Secara kecil-kecilan terjadi juga  apa yang dialami wartawan Ilham Bintang. Kartu kreditnya bobol (DI’s Way: Ilham Indosat).

Tapi bukan hanya dua api itu yang membuat asap hitam OJK membumbung tinggi. Isu pembubaran itu lebih terkait dengan program penyelamatan ekonomi nasional. Terutama akibat Covid-19.

Presiden, lewat Perppu sudah memutuskan perlunya stimulus ekonomi. Termasuk untuk mengusaha kecil. Yang total nilainya di atas 100 triliun.

Sampai sekarang, dana yang sudah cair baru sekitar 1 persen. Inilah yang melatarbelakangi ucapan presiden dalam marahnya pekan lalu: jangan sampai pengusaha dibiarkan mati dulu baru dibantu. Akan sia-sia.

Dalam Perppu, Presiden Jokowi memang mempermudah prosedur pencairan stimulus. Terutama untuk pinjaman yang di bawah Rp 10 miliar.

Salah satu kemudahan itu adalah: pengusaha yang kreditnya bermasalah pun bisa mendapatkan stimulus itu. Tentu OJK keberatan –meski tidak pernah diucapkan. Itu termasuk melanggar rukun iman perbankan yang harus pruden.

Maka orang seperti Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P Roeslani, berkoar. Begitu juga banyak politisi.

Tapi bukan Ketum Kadin itu yang pertama melontarkan isu pembubaran OJK.

“Saya tahu siapa orang pertama yang melontarkan pernyataan itu. Tapi saya tidak mau menyebut nama. Nanti jadi fitnah,” ujar Mohamad Misbakhun, anggota DPR dari Golkar.

Dari situlah wacana pembubaran OJK bermula. Dari kemarahan. Ini seperti hukum karma saja. OJK dulu dibentuk juga oleh kemarahan. Ketika pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia kurang baik. Puncaknya terjadi skandal Bank Century.

Fungsi pengawasan Bank Indonesia dianggap lemah. Maka perlu dibentuk lembaga di luar BI, khusus untuk memperkuat pengawasan. Terbentuklah OJK itu. Ternyata masih terjadi skandal seperti Jiwasraya.

Inggris menjadi contoh pemisahan. Waktu itu, Inggris memang memisahkan antara fungsi pengaturan moneter dan pengawasan bank. Padahal Inggris adalah Makkah-nya keuangan dunia. Mengapa tidak diikuti saja.

Akhirnya, pada 2013, kita ikut Inggris. Terbentuklah OJK.

Lucunya Inggris berubah sikap. Di tahun 2013 itu Inggris kembali menyatukan fungsi pengawasan ke bank sentralnya.

“Jangan lupa,” ujar Burhanuddin Abdullah dalam Zoominar yang diselenggarakan Narasi Institut tadi malam. “Di tahun itu juga Inggris kembali menggabungkan kembali fungsi pengawasan ke dalam Bank Sentralnya”.

Meski ia mantan Gubernur Bank Indonedia, Burhanuddin tidak terlihat memihak. Hanya saja “Kalau toh OJK mau dibubarkan jangan sekarang,” ujarnya. “Saat ini kan lagi terjadi krisis. Jangan bikin keputusan yang menimbulkan ketidakpastian,” katanya.

Saat ini Burhanuddin berusia 72 tahun. Tokoh asal Garut lulusan Universitas Padjadjaran dan Michigan ini mengaku tidak banyak tahu lagi perkembangan kelembagaan keuangan di Indonesia.

Ibarat kapal yang lagi berlayar, kapal itu lagi diguncang badai. Janganlah di saat kapal lagi oleng justru kita hantam dengan pukulan.

Rakyat pada umumnya sebenarnya tidak peduli ada atau tidak adanya OJK.

Rakyat tidak tahu mengapa dulu OJK dibentuk dan mengapa pula kini harus dibubarkan. (Dahlan Iskan)