“Ini jimat,” ujar kiai itu saat menyerahkan amplop kepada saya.
Sejak awal saya menduga amplop itu isinya uang. Maka saya pun memberi isyarat tidak mau menerimanya. Tapi begitu kiai mengatakan ‘ini jimat’ pikiran saya berubah. Tiwas saya punya prasangka yang salah. Oh… Ternyata isinya bukan uang. Mestinya.
Saat itu, kemarin malam, saya pamit lebih dulu meninggalkan acara. Saya sudah mendengar pidato sang kiai. Saya juga sudah mengikuti sambutan kiai Asep Saifudin Chalim, yang profesor doktor itu. Pun saya sudah memenuhi keinginan sang kiai untuk pidato motivasi pendek pada santri di situ.
Saat saya mau pamit sang kiai mengambil tas tangan di kursi. Membukanya. Mengambil amplop agak tebal. Saya mundur dan menolak.
“Ini jimat,” katanya.
Jimat adalah benda yang mengandung kekuatan magis –bagi yang percaya. Saya pun menebak-nebak: jimat apa yang ada di dalam amplop itu. Saya bawa saja. Saya simpan di mobil. Saya tidak ingin membuka jimat itu.
Saya sudah punya banyak jimat. Bentuknya macam-macam. Mulai Alquran seukuran kuku jempol sampai batu akik. Tapi jimat yang baru saja diberikan itu sepertinya bukan benda keras. Sepertinya lembaran-lembaran uang. Yang kalau melihat tebalnya bisa jadi bernilai Rp 5 juta –kalau lembarannya Rp 100.000-an.