Saya kontak satu persatu teman saya di Beirut. Sudah lebih satu tahun saya tidak mengontak mereka. Kali ini saya harus melakukannya: ledakan 4 Agustus itu begitu dahsyat –158 orang meninggal. Masih banyak yang dinyatakan hilang. Yang terluka sampai 6.000 orang. Yang kehilangan rumah 300.000 orang.
Teman saya termasuk yang selamat. Kabar itu baru saya terima kemarin. Mereka menceritakan kengerian ledakan itu. Yang setara dengan gempa bumi 3,3 skala richter –tapi pusat gempanya di permukaan bumi. Di pelabuhan Beirut, ibukota Lebanon.
Getaran ledakan itu sampai terasa di negara Cyprus. Di Israel. Di Syria. Maklum yang meledak adalah 2.750 ton ammonium netrat. Yang kekuatannya setara dengan 1,2k ton bom TNT.
Saya kembali terbayang ketika seminggu penuh di Beirut tahun lalu. Dari lantai atas hotel saya bisa melihat pelabuhan itu. Saya juga membayangkan Beirut Souk, mal termodern di sana. Yang tiap hari saya jalan-jalan di Souk itu. Yang kini tetap utuh tapi kaca-kacanya berantakan.
Kemarin, setelah empat hari, jelaslah asal usul peristiwa itu. Jelas juga bahwa Presiden Donald Trump sangat ngawur –yang buru-buru menyebut ledakan itu sebagai serangan.
Ternyata begitu sepele penyebab ledakan itu. Ini ibarat manusia satu kota minum air PDAM yang pipanya dibiarkan keropos kemasukan racun. Padahal posisi pipa itu di atas tanah, di depan mata.