Pejuang Asa

0
47
Riri Nurwulandari
Riri Nurwulandari

Bagi kita memiliki gelar sarjana itu sangat membanggakan, terlebih untuk orang tua yang berjuang setengah mati (memang sepertinya hampir tak memikirkan nyawa lagi atas pengorbanan mereka membiayai anaknya sampai lulus hingga bergelar sarjana). Demi siapapun yang dibiayainya terlebih kepada anak mereka, yang biasanya semua orang tua menginginkan anak-anak mereka kelak kehidupannya lebih baik dari mereka terlebih soal pendidikan.

Bicara tentang gelar, di Indonesia terdapat gelar Sarjana Pendidikan yang disingkat jadi S. Pd.. Gelar ini salah satu gelar terbanyak (mungkin) yang disandang oleh lulusan yang bercita-cita (entah cita-cita sendiri atau orang lain) sebagai pendidik atau disebut GURU. Ketika kuliah saya dulu berpikiran dan sering jadi bahan guyonan (maaf pak/bu dosen) S. Pd adalah Sarjana Percaya Diri.

Dulu kami tertawa lepas sambil menunggu dosen datang dengan ciri khasnya masing-masing (ada yang dengan mudah dikenali dengan suara taktok taktok sepatunya, dengan mendehem, dengan wangi sport yang khas, dengan pura-pura batuk kecil, sekali lagi maaf pak/bu dosen).

Tertawa kami itu dirasa seolah-olah candaan retjeh (bukan acara televisi ya) yang baru saya sadari ketika sudah menjadi guru bahwa saya memang harus betul-betul percaya diri tinggi menghadapi siswa.

Ketika saya latihan mengajar di laboratorium microteaching itu rasanya luar biasa deg-degannya melebihi ketika akan bertemu calon mertua mungki. Padahal yang dihadapi itu teman sendiri dan tentu saja dosen mata kuliah yang keberadaannya ghaib, tidak bisa terlihat oleh kita.

Namun, di balik kaca yang hanya dilihat oleh beliau matanya penuh selidik sambil memegang pulpen dan mencatat apa saja yang akan jadi catatan dosa kita ketika mengajar (lho serem amat catatan dosa).

Dengan minim percaya diri (kebalikan penuh percaya diri yang orang lain sering kasih semangat) saya cuap-cuap di depan meja guru, papan tulis putih, overhead proyektor (sekarang disebut infocus maklum saya lulusan jadul, hehe) dan tentu saja di depan mahasiswa gadungan yang berperan sebagai siswa.

Maaf kawan saya bilang gadungan, soalnya kalian waktu itu bergaya anak-anak SMA dan casciscus ala-ala anak remaja yang baru mengenal cinta kunyuk. Padahal aslinya sudah tidak pantas lagi disebut anak SMA yang imut, lucu, nyebelin tapi ngangenin.