YOGYAKARTA-RADAR BOGOR, Ini kisah Marini Joko Wiharjo. Mahasiswi pertanian UGM. Seorang Penyitas Covid-19.
Tidak mudah baginya menjadi seorang Penyitas Covid-19. Selain dampak kesehatan, sanksi sosial dari terpaparnya virus corona itu tidak kalah menyeramkan.
Terlebih bukan saja dirinya yang terpapar Covid-19. Virus itu juga menginfeksi kedua orang tuanya.
Ia mengisahkan awal mula dirinya dan kedua orang tuanya terinfeksi Covid-19. Semua berawal dari penjemputan kedua orang tuanya yang hendak menemuinya dari Lampung menuju Yogyakarta.
Saat penjemputan itu kedua orang tuanya sedang mengalami kondisi tubuh yang kurang fit. Setibanya di Kota Yogyakarta kondisi kedua orang tuanya semakin drop.
Sampai akhirnya dipulangkan ke Lampung dan langsung melakukan test swab.
Disanalah diketahui, test swab yang dilakukan kedua orangtuanya tersebut dinyatakan positif Covid-19. Keduanya di isolasi di Rumah Sakit Abdul Munuk, Lampung.
Hal itupun membuat Marini merasa ketakutan. Dirinya langsung mengikuti rapid test juga swab.
Pada awal tahap test rapid, ia tidak merasakan gejala apapun namun hasil testnya menyatakan dirinya juga dinyatakan reaktif.
Test swab pun dilakukannya untuk membenarkan hasil tersebut, dan ternyata setelah menunggu hasil test swab selama satu minggu, ia mulai merasakan gejalanya seperti rasa mual, tidak nafsu makan, tidak bisa mencium bau, tidak bisa merasakan rasa makanan apapun.
Juga batuk yang sangat menyakitkan, dan hasilnya ternyata dirinya dinyatakan positif Covid-19.
Ia juga melihat hasil rontgen paru-parunya yang dipenuhi bercak putih. Dokter menyarankan untuk melakukan isolasi di rumah sakit.
Marini awalnya menolak saran itu karena beranggapan banyak tugas kampus yang harus dilakukannya di luar. Namun pada akhirnya dirinya menyetujui untuk mengikuti isolasi di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dikarenakan tidak memiliki siapa-siapa yang bisa mendampinginya di kosan.
Setelah berada di rumah sakit untuk menjalankan isolasi, ia melakukan swab sebanyak lima hingga enam kali dan dilaksanakan sebanyak satu kali dalam seminggu.
“Test swab yang pertama tidak merasakan sakit, tapi swab yang ke dua, ke tiga, ke empat itu merasakan idung tersumbat, jadi proses swabnya terasa sakit,” katanya.
Setelah swab yang ke lima dan enam dilakukan, barulah hasilnya negatif dan ia dinyatakan boleh pulang.
Namun deritanya tak sampai disitu. Ia tak pernah menyangka bahwa jadi penyintas Covid-19 itu ada bonusnya.
Setelah keluar dari rumah sakit, ia mendapatkan sanksi sosial dari lingkungan kosan tempat ia tinggal.
Dimana pemilik kosnya dan ketua RT juga RW meminta dirinya mengemasi barang-barang untuk tidak tinggal di wilayah itu lagi. Karena ditakutkan dapat menularkan virusnya kepada warga yang lain.
Dirinya marah karena merasa tak perlu ada yang ditakutkan jika ada orang yang positif juga dihari itu. Namun, ketua RT dan RW tetap bersikukuh menganggap bahwa wilayahnya menjadi zona merah akibat Marini.
Dirinya diberi tempat baru untuk ngekost, namun temannya menilai bahwa kosan baru yang akan ditempatinya tidak layak huni karena sangat sempit dan tidak memilikki jendela serta saluran ventilasi.
Marini tak tahan dengan perlakuan orang-orang padanya, kemudian ia mengadu kepada puskesmas. Namun, pengaduannya tidak berujung pada solusi yang akhirnya hanya diberi kontak gugus kelurahan.
Setelah diberi kontak gugus kelurahan, ia bercerita kenapa ada mahasiswa diusir dan diperlakukan sedemikian rupa. Dan lagi, kejadian tidak mengenakan dirasakan Marini karena gugus kelurahan pun membenarkan tindakan yang dilakukan oleh ketua RT dan RW di wilayah itu.
Marini juga bercerita bahwa sanksi sosial pun dirasakan kedua orang tuanya yang sudah sembuh dari Covid-19. Di mana kampung halamannya juga ikut mengucilkan keluarganya, sampai lebih parahnya lagi adik dan kakaknya diperlakukan tidak sepantasnya oleh aparat sekitar saat menyambangi rumahnya untuk disemprot disinfektan. (all/mg5)