Bangunan Liar di Kedungbadak Kurang Perhatian, Potensi Longsor Besar

0
200
Perkampungan yang berada di daerah aliran Cikapancilan tepatnya yang berada di Kelurahan Kedung Badak sejak dua tahun lalu Pemkot Bogor mewacanakan untuk memindahkan warganya ke Rusunawa. Nelvi/Radar Bogor.
Perkampungan yang berada di daerah aliran Cikapancilan tepatnya yang berada di Kelurahan Kedung Badak sejak dua tahun lalu Pemkot Bogor mewacanakan untuk memindahkan warganya ke Rusunawa. Nelvi/Radar Bogor.
Perkampungan yang berada di daerah aliran Cikapancilan tepatnya yang berada di Kelurahan Kedung Badak sejak dua tahun lalu Pemkot Bogor mewacanakan untuk memindahkan warganya ke Rusunawa. Nelvi/Radar Bogor.

BOGOR–RADAR BOGOR,Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor nampaknya belum bisa menertibibkan Bangunan Liar (Bangli) yang tersebar di sudut-sudut kota.

Hal ini terbukti, pasca bencana longsor yang menewaskan Kusmiyati (30), warga Kampung Kedungbadak Sentral, Kelurahan Kedungbadak, Kecamatan Tanah Sareal, Rabu (1/1) lalu.

Faktanya, dari penelusuran tim Satuan Tugas Naturalisasi Ciliwung, sudah belasan tahun, 80 keluarga tinggal di kawasan tersebut.

Padahal, kawasan itu merupakan kawasan sempadan sungai, artinya kawasan yang seharusnya steril dari bangunan.

Sekretaris Satgas Naturalisasi Ciliwung, Een Irawan Putra menuturkan, kawasan terlarang yang dimukimi penduduk tersebut sangat riskan dan berbahaya. Karena rumah penduduk dibangun di atas jalur air.

Selain itu, di atas pemukiman penduduk, juga terdapat anakan sungai, sehingga saat hujan, potensi longsor sangat besar.

“Dari awal kami sudah melakukan penelusuran, dan kita sudah memasukkan masalah ini dalam catatan kami. Kita sudah laporkan ke Satpol PP dan Pemkot Bogor, bahwa kawasan ini harus diperhatikan. Karena selain menyumbang sampah, potensi longsornya juga besar,” ujar Een.

Een memastikan, 80 keluarga tersebut sudah tinggal di kawasan sempadan sungai selama belasan tahun.

Sejauh ini, belum ada sinkronisasi terkait penanggulangan kawasan tersebut. Meskipun mereka tinggal di kawasan sempadan sungai, masyarakat di kawasan itu dapat menunjukkan kartu tanda penduduk.

Akses listrik juga tersedia. Een berharap, seluruh pihak terkait dapat tanggap terhadap permasalahan di kawasan tersebut karena jika terus dibiarkan, potensi bencana dapat mengancam warga yang tinggal di sana.

“Saya belum cek, itu kawasan sempadan sungai apakah warga punya sertifikat tanah di sana atau tidak. Seharusnya tidak ada ya. Tetapi saat Pak Wali minta KTP, mereka bisa menunjukkan ya. Perlu ditelusuri juga, apakah mereka bayar pajak atau enggak, kalau bayar pajak aneh juga karena itu lahan sempadan. Berarti ada yang belum sinkron,” kata Een.

Lebih lanjut, Een pun berharap, kejadian longsor yang menimbun rumah warga hingga mengakibatkan warga tewas harus menjadi bahan evaluasi bersama. Meskipun prioritas Utama Tim Satgas Naturalisasi Ciliwung adalah normalisasi Ciliwung dari sampah, namun upaya untuk menormalisasi sempadan sungai untuk meminimalisasi risiko bencana juga perlu jadi prioritas.

Apalagi, berdasarkan hasil penelusuran, sejumlah warga di kawasan tersebut juga terjangkit penyakit menular seperti TBC dan hepatitis. Selain kawasan yang rawan longsor, lingkungan di kawasan tersebut juga kurang sehat.

“Sudah seharusnya diperhatikan, jangan lagi ada pembiaran. Dari awal kita sampaikan kawasan ini bahaya. Longsor bisa terjadi kapan saja, apalagi ada air di atasnya. Posisi rumahnya di bawah tebingan jalan, kalau ada kendaraan yang lewat juga bisa berpotensi menggetarkan tanah yang labil, belum lagi masalah lingkungan di situ. Ini harus diselesaikan bersama,” ucap Een. (wil/cr2/c)