BOGOR-RADAR BOGOR, Banjir memorak-morandakan Kampung Adat di Desa Urug, Kecamatan Sukajaya. Hampir seisi kampung habis. Lumpur sudah setinggi genting rumah. Batu berukuran besar sudah ada di dalam ruang tamu. Jalan aspal berganti aliran sungai baru. Itulah Kampung Urug sekarang ini.
Sore kemarin, langkah lima kilo saya menuju Kampung Adat, Desa Urug ditemani Asih (45). Tak hanya Asih, Ia memboyong dua putri dan satu keponakannya menuju kediamannya. Namun dia bukan warga Kampung Adat. Asih warga Kampung Cirempug, Desa Kiarapandak.
Namun sepanjang jalan, Asih memberikan informasi kepada saya tentang jalur menuju Desa Urug via jalan kaki. Luar biasa memang tracknya. Asih juga beberapa kali terpeleset. Celananya kotor dilumuri lumpur.
Kebetulan, jalur menuju Desa Urug dan Desa Kiarapandak sama. Hanya terpisah oleh jalan kecil bercabang setelah dua kilo jalan kaki dari Kantor Desa Harkat Jaya.
“Saya hampir setiap hari ini, ngambil bantuan. Terus pulang ke rumah, sejauh ini baru dua kali bantuan masuk ke kampung. Selebihnya ya ambil sendiri,” sahutnya sambil tetap melanjutkan perjalanan.
Turun lagi, nanjak lagi. Sendal si ibu harus dicopot, saking licinnya jalan. Beberapa pengendara juga sering mondar mandir membawa bantuan. Memaksa roda dua mereka sering selip diatas lumpur semata kaki. Memang, mengawali perjalanan banyak cerita di Kampung Cibuluh, masih di Desa Harkat jaya.
“Saya duluan ya kang, saya lanjut jalan lewat jalan ke kanan,” kata Asih sambil pamit. Setelah waktunya kami berpisah, saya melanjutkan perjalanan dengan sisa tiga kilo lagi.
Selesai dengan jalanan berlumpur, saya masuk kampung. Dikira ramai, ternyata sepi bak kampung mati. Hanya satu dua orang ditemui sedang mengecek keadaan rumahnya.
Saat ditanyai, ternyata mereka mengungsi di posko pengungsian di SD Negeri Sukajaya 03. Dibelakang kantor desa.
Lanjut ke perjalanan, saya masuk ke Kampung Babakan Tajur. Disitu, menjadi titik terakhir sebelum masuk ke Kampung Adat. Disana saya temui beberapa ibu – ibu.
Menariknya, mereka tak terlalu meminta makan atau sandang lainnya. Mereka cuma butuh lilin. Penyebabnya, tiang listrik yang mengaliri ke kampung mereka tumbang bersama longsor di Jalan Raya Cipatat.
“Kang bilang, kami butuh lilin. Setiap mau malam kami takut, gelap aekali,” kata salah seorang ibu yang duduk dibawah saung. “Lilin mas, selain makan kami perlu lilin. Dari hari pertama (kejadian,red) disini belum ada listrik,” sahut seorang ibu lainnya.
Dari kejauhan terlihat riak anak kecil sedang mandi di sungai. Sedikit tersenyum melihat korban bencana yang tersenyum bahagia.
Ternyata ketika didekati, mereka mandi di sungai bekas aliran longsor. Tak jauh dari mereka mandi, ada sebuah jembatan yang hancur lebur diterpa tanah. Ya, selamat datang di gerbang Kampung Adat, Desa Urug.
Perjalanan panjang kaki saya kembali dikejutkan saat mengitari kampung. Inti kampung tepatnya. Bendera kuning besar tertancap ditengah kampung. Dua bendera tepatnya. Sekelilingnya, rumah – rumah permanen milik warga sudah tak diisi lagi perabotan. Melainkan batu – bath besar dari sungai.
Heran memang. Begitu dahsyatnya bencana kala itu datang. Sampai batu besar bisa sejajar dengan atap rumah. Bahkan ada di ruang tamu. Sangat, sangat sepi. Beberapa warga terlihat memasak. Di kandang ayam.
“Saya waktu kejadian memang lg di luar. Begitu dengar kabar, lansung pulang,” tutur Enah (39) dari balik kandang ayam yang ia jadikan dapur sementara.
“Saya lihat di Facebook ada bencana di kampung kami. Saat itu saya lansung pulang, dan melihat rumah sudah hancur,” teriak juga salah seorang warga dari belakang saya, namanya Laela (35).
Memang saat kejadian, sebagian warga sedang tak ada di kampung. Hal itu kemudian diamini sang Kepala Adat, Abah Ukad Raja Aya.
Memang saat itu, euforia pergantian tahun sedang dinikmati warga Kampung Adat. Beberapa dari mereka keluar kota. Ada yang ke Tanggerang dan paling banyak ke Jakarta. Ada juga yang sedang di Cibinong.
“Disini, coba lihat dari atas, memang rusak ringan. Tapi coba lihat ke bawah, hancur berantakan. Bahkan lumpur bekas longsoran sampai ke samping rumah adat,” beber Abah.
Di Kampung Urug sendiri, ada tiga titik besar yang alami longsor. Dimulai dari atas, tengah, hingga ke bawah. Termasuk cagar budayanya. Meskipun, belum ada assesment yang pasti di Kampung Urug.
“Kekuras sekali tenaga sampai sekarang. Saya sendiri ikut nyelametin sampah dari bukit. Sekarang saja lahan padi hancur, kita kekurangan beras. 120 liter saya beli, tidak sampai seminggu sudah habis,” ungkapnya. (dka)