BOGOR-RADAR BOGOR, Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2018, yang merupakan Perubahan Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), terus berpolemik.
Selain tengah mendapatkan gugatan uji materiil (judicial review), DPRD Kota Bogor sudah membentuk panitia khusus (Pansus) untuk mencabut sejumlah Perda bermasalah di Kota Bogor.
“Saya mewakili sebagai pribadi, membaca Perda 10 tahun 2018 memang bermasalah, terjadi perluasan KTR (kawasan,red), hampir semua tempat menjadi KTR. Padahal ada tempat publik, tempat umum yang ditetapkan, jadi itu tambahannya. Seolah-olah, semua tempat menjadi KTR,” ujar Anggota DPRD Kota Bogor, Muaz HD, dalam diskusi Publik bertajuk mengawal langkah akhir uji materi Perda KTR Kota Bogor yang digagas Bogor Connection di Hancock Café Jalan Malabar, kemarin.
Sehingga dengan revisi perda tersebut, kata dia, mengesankan Kota Bogor yang anti rokok, padahal esensi saat melahirkan Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang KTR hanya melakukan penataan tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh merokok.
“Kita melindungi yang tidak merokok, sehingga hak asasinya diperhatikan seperti ibu-ibu, dan anak-anak. Saat itu, hanya tujuh tempat tetapi ternyata pada perda baru semua tempat dilarang, saya secara pribadi ingin mengusulkan ini dicabut,” paparnya.
“Kami dari Fraksi PKS sudah mengusulkan, melalui pemandangan umum juga sudah disampaikan, nanti saya akan usulkan pada saat rapat fraksi untuk memutuskan itu, karena saya tidak bisa sendirian, nanti saya sampaikan, karena jumlah perokok dan pedagang juga tidak sedikit,” ujar dia.
Sehingga ketika Fraksi PKS menyetujuinya, usulan pencabutan perda ini nantinya dibahas kembali oleh pansus, yang kini mengusulkan mencabut tujuh perda bermasalah.
“Dengan dinamika ini, saya akan mengusulkan Perda 10 2018 untuk ditambahkan jadi delapan. Jadi yang dibentuk pansus yakni tujuh perda, tapi saya tidak hapal,” ujar Muaz.
Dengan dinamika tersebut, ia akan mengusulkan ke fraksi di dalam pemandangan umum diusulkan Perda Nomor 10 Tahun 2018, untuk ditambahkan menjadi delapan perda yang akan dicabut,” tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Hukum Trisaksti Ali Rido menjelaskan, proses judicial review tentang gugatan Perda KTR Kota Bogor merupakan yang ketiga, hasilnya yang terakhir belum keluar tetapi jika merujuk pada hasil gugatan judicial review sudah putus pada 2011.
“Putusanya bermasalah saat itu, Mahkamah Agung ketika memutuskan perda ini bertentangan dengan aturan yang di atasnya, rujukan aturan yang lebih tinggi itu salah. Yang dirujuk harusnya UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan, tetapi yang dirujuk MA adalah UU nomor 39 tahun 2009 tentang kawasan ekonomi khusus,” paparnya.
“Pertanyaannya apakah si pemohon menilai perda ini bertentangan dengan ekonomi khusus atau tidak, jawabannya tidak. Amar putusannya menolak bahwa Perda nomor 12 tahun 2009 tidak bertentangan dengan UU 39 tahun 2009, aneh. Bogor itu bukan kawasan ekonomi khusus,” ucapnya.
Ia juga menyayangkan sekelas MA yang melekat pada kode etik dan pedoman prilaku hakim menyalahi prinsip kehati-hatian, dan itu diatur peraturan bersama Ketua MA dan Ketua Yudisial bahwa hakim harus tunduk pada kode etik dan perilaku hakim.
“Di situ hakim harus mengedepankan prinsip kehati-hatian, dengan adanya salah kutip itu berarti hakum melanggar prinsip itu,” tukasnya. (ded/c)