BOGOR-RADAR BOGOR, Wali Kota Bogor Bima Arya menjadi narasumber dalam Pelatihan Kader Lanjut se-Jawa Barat yang digelar Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bogor di Gurmiyati Resort and Camp, Cijeruk, Bogor, Jumat (21/2/2020) malam.
Dalam kesempatan tersebut, Bima Arya diminta untuk berbagi pengalaman seputar proses kebijakan pembangunan di Kota Bogor. Bima menyampaikan bahwa publik, khususnya mahasiswa perlu memahami siklus pembuatan kebijakan, anggaran dan lain sebagainya.
“Supaya bisa kita sama-sama awasi dan memberikan edukasi kepada publik. Selain itu juga supaya bisa dikritisi secara obyektif dan rasional. Ketika ada persoalan, ketika ada ramai, mengapa kebijakan itu ke sana, mengapa tidak kesini, kalau dirunut bisa diketahui arahnya,” ungkap Bima Arya.
Lebih lanjut Bima Arya menjelaskan mengenai pentingnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan yang tertuang dalam sejumlah pendekatan yang digunakan dalam menyusun perencanaan pembangunan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, dan top-down atau bottom-up.
“Pendekatan politik ini adalah berasal dari janji kampanye calon presiden, gubernur, bupati/walikota. Jadi ketika seorang Bima Arya menyampaikan bahwa nanti kalau saya terpilih, saya akan mengalokasikan sekian miliar untuk renovasi rumah tidak layak huni, itu namanya pendekatan politik. Kalau kita lihat Pak Jokowi punya program infrastruktur, itu pendekatan politik karena dari gagasannya beliau. Kalau yang menang Pak Prabowo, belum tentu juga infrastruktur, mungkin bidang lain,” jelasnya.
Berikutnya adalah pendekatan teknokratik. Pendekatan ini, kata Bima, berasal dari dinas-dinas. “Yang kemudian menyusun program-program berdasarkan kajian-kajian yang ada di dinas-dinas itu. Jadi ada prosesnya, metodenya, kadang-kadang ada bersumber dari penelitian, kajian dan lain sebagainya. Atau ada dari proses di birokrasi. Jadi munculnya dari dinas,” kata dia.
Menurut Bima, dalam pendekatan teknokrat ini, bisa jadi sang kepala daerah tidak tahu beberapa program yang diusulkan. “Bayangkan kalau Kota Bogor APBD-nya 2,5 triliun tahun ini. Jakarta puluhan triliun. Kalau di Kota Bogor tidak sampai 2.000 kegiatannya. Di Jakarta puluhan ribu. Mas Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) belum tentu hafal. Jadi menurut saya ada masalah Aica Aibon kemarin, ya bisa dipahami kecolongan kalau tidak teliti satu per satu,” terangnya.
Pendekatan ketiga adalah partisipatif. Pendekatan partisipatif ini umumnya berasal dari metode penggalian aspirasi dari masyarakat. “Jadi kalau anggota DPRD turun, wali kota turun ke lapangan, muncul dari warga, nah ini partisipatif. Biasanya modelnya adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Jadi berasal dari warga. Misalnya warga merasa ingin dibangunkan jembatan, munculnya dari bawah, bukan gagasan walikota,” ujarnya.
Terakhir, adalah pendekatan dari atas ke bawah top-down atau sebaliknya. Pendekatan ini dilaksanakan menurut jenjang pemerintah. Rencana-rencana hasil proses dari atas ke bawah dan bawah ke atas, diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan.
“Kalau sering dengar ada Musrenbang, mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kemudian naik tingkat kota, provinsi, akhirnya nasional. Ini dipadukan. Jadi, ada yang dari bawah diserap tapi ada desain dari atas juga, akhirnya disesuaikan,” jelas Bima.
“Saya menyerap dari kelurahan, tetapi nanti di provinsi harus dipadukan juga. Misalnya saya akan sarankan kepada Pak Gubernur, bahwa program ini aspirasi Musrenbang di Kota Bogor. Pak Gubernur juga akan sampaikan, ini desain kita dari atas, yang bisa jadi disusun oleh provinsi atau bisa jadi turunan dari kebijakan Pak Jokowi. Pak Jokowi dari mana? Bisa juga dari teknokratik dari menteri-menteri, atau bisa juga dari politik, yaitu visi misinya Pak Jokowi. Jadi, yang keempat ini perpaduan semua pendekatan,” pungkasnya. (prokompim)