BOGOR-RADAR BOGOR, Wali Kota Bogor Bima Arya menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Penanganan Bencana Banjir di Jakarta, Jawa Barat dan Banten’ yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Senin (2/3/2020).
Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, bencana banjir yang terjadi pada awal 2020, serta belajar dari kejadian bencana banjir yang berulang di Jakarta dan kawasan sekitarnya, yang berdampak pada kehidupan masyarakat dan kerugian sektor ekonomi, dipandang perlu untuk menyusun perencanaan penanggulangan bencana banjir terpadu, khususnya perencanaan penanganan banjir hulu-hilir lintas sektor berbasis kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Melalui FGD kita mengharapkan masukan dari tiga provinsi serta para pakar sehingga kita dapat menghasilkan solusi ke depan dalam mengelola ekosistem dan mengurangi dampak bencana. Kita perlu menyusun program terintegrasi baik dari hulu, tengah hingga hilir,” ungkap Doni.
Dia mengatakan dibutuhkan kolaborasi antar pihak untuk menangani banjir. Menurutnya, perlu adanya program yang mengatur dari hulu, tengah sampai hilir untuk mencegah dan menangani permasalahan banjir.
“Pada kesempatan ini, BNPB mencoba memberi gambaran bahwa penanganan banjir tidak bisa ditangani sektoral. DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten tidak bisa menangani banjir sendirian,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, turut mendengarkan pendapat dari Prof Emil Salim, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, DPRD DKI Jakarta, TNI/Polri dan para bupati serta wali kota.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengaku setuju dengan apa yang disampaikan Kepala BNPB bahwa banjir adalah urusan bersama. “Tetapi sejauh ini cara kita menyelesaikannya belum sepenuhnya bersama-sama. Itu koreksinya. Ada dua hal yang harus kita benahi. Pertama adalah penganggaran dan kedua adalah kewenangan,” ujar Bima.
“Kalau perencanaan saya rasa semua sudah ada, semua sudah paham dan semua sudah mantap. Tapi perencanaan itu belum tentu dianggarkan. Yang kedua, kewenangan yang terbatas. Banyak sekali yang ingin kita lakukan tapi kewenangannya terbatas. Oleh karena itu aspek penganggaran dan kewenangan menjadi aspek yang harus di akselerasi,” tambahnya.
Untuk itu, lanjut Bima, diperlukan satu peta bersama mengenai hal yang dibutuhkan oleh wilayah. “Saya membayangkan kita memiliki satu peta bersama, kebutuhan wilayah sekitar berapa, mana yang bisa dianggarkan oleh bantuan provinsi, mana yang bisa dianggarkan melalui bantuan kementerian,” tandasnya.
“Sebagai contoh Kota Bogor selalu memberikan proposal kepada Jakarta setiap tahunnya. Tahun lalu Rp 10 miliar terkait banjir atau lingkungan hidup. Tahun ini karena kita gencar melobi Jakarta dibantu oleh Ketua DPRD, komunikasi dengan gubernur, naik menjadi Rp 36 miliar fokus untuk membangun kolam retensi, sumur resapan dan lainnya. Tapi sebelah saya, Ibu Bupati Bogor justru berkurang (bantuan dari Jakarta). Padahal kebutuhannya juga besar di area hulu. Sehingga kita perlu peta bersama, butuhnya berapa, APBD kota sanggup berapa, bagaimana kita mengharapkan dari provinsi DKI, maupun dari kementerian,” pungkasnya. (prokompim)