CIBINONG–RADAR BOGOR, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Covid-19, telah ketuk palu menjadi undang-undang. Potensi korupsi terus membayangi dan membuat rakyat semakin meradang.
Hal itu diungkapkan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo dalam diskusi via Zoom, Minggu (17/5/2020).
Ia mengakui, peraturan yang digunakan itu belum menunjukkan batasan-batasan mendetail sebagaimana di luar krisis.
Tentu akan berpotensi menyimpang karena juga menyentuh terkait keuangan hingga pengadaan barang dan jasa.
“Situasi krisis begini terjadi kelangkaan barang dan jasa akibat kebangkrutan ekonomi, yang memaksa dilakukannya impor barang dan jasa. Di sisi lain, ketika data pemerintah tidak akurat digunakan untuk mendistribusikan bantuan sosial (bansos), muncul kekacauan yang bisa berpotensi korupsi,” paparnya.
Ia merincikan, potensi-potensi itu bisa diidentifikasi melalui beberapa hal jika berbicara konteks menangani pandemi Covid-19.
Di antaranya, seperti dari belanja sektor kesehatan, yang memanipulasi dan curang dalam pengadaan alat rapid test, upaya pembuatan vaksin, hingga kejanggalan pengadaan APD.
Hal itu juga didukung dengan struktur monopoli badan-badan usaha yang menguasai sektor keaehatan.
“Belanja bansos juga menjadi masalah karena bentuknya berbedabeda. Ada uang, ada barang berupa sembako. Indikasinya bisa bermacam-macam, seperti penerima fiktif, penyunatan bantuan, penerima yang ganda, hingga konversi uang ke barang yang memicu mark-up,” terangnya lagi.
Selain itu, insentif pajak lantaran dilakukan relaksasi juga berpotensi membuka keran-keran tindakan di luar hukum. Alasannya, tak ada mekanisme yang jelas dalam proses relaksasi itu bisa menuai persoalan.
Adnan pun menambahkan, sektor keuangan yang merambah ke pinjaman pemerintah juga sangat riskan memunculkan kembali kasus-kasus di era 1998 silam.
Meminimalisasi masalah tersebut, Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia meluncurkan kanal pengaduan untuk masyarakat di tengah pandemi, Minggu (17/5/2020).
Hal itu untuk mendukung pengawasan terhadap penggunaan anggaran Covid-19 yang berpotensi memuluskan tindak pidana korupsi.
Manajer Program Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Hendrik Rosdinar pun membenarkan potensi penyalahgunaan kewenangan terbuka cukup lebar.
Pasalnya, situasi darurat menjadi alasan dihilangkannya proses check and balance dari DPR. Persoalan imunitas juga akan menyebabkan beberapa pihak tidak bisa dipidanakan karena klausul yang tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Direktur KOPEL Indonesia, Anwar Razak mengatakan, kanal itu bisa digunakan secara luas oleh publik melalui layanan email.
Menurutnya, pengaduan melalui email dianggap lebih efektif dan aman bagi publik. Masyarakat bisa mengadukan kasus-kasus yang terindikasi korupsi selama penanganan wabah Covid-19.
“Kami akan menindaklanjutinya, yang tentu dalam tahap berikutnya memerlukan identifikasi dan investigasi yang lebih mendalam. Tentu saja, kami juga mau mengajak semua pihak agar serius bersama-sama mengawasi penggunaan anggaran Covid-19 ini,” terangnya dalam diskusi tersebut.
Ia menganggap, seharusnya pemerintah telah melakukan pembenahan dari sisi regulasi terkait anggaran penanganan Covid-19 itu. Karena pandemi wabah telah berlangsung selama dua bulan. Waktu itu dirasa cukup dalam membenahi budgeting yang ada. (mam/c)