CIBINONG-RADAR BOGOR, Memprihatinkan, seorang guru ngaji bernama Neng Imas Romdona menjalani kehidupan bersama keluarganya di dalam gubuk bekas kandang angsa.
Nayla Rahmadini mengembangkan senyum sumringah. Beberapa lembar uang lima ribuan tersusun rapi di tangannya. Ia menjejerkan uang-uang itu di lantai rumah. Memamerkannya kepada sang kakak, Fajri.
Meski pencahayaan rumahnya begitu temaram, keduanya masih bisa tertawa-tawa. Mereka sesekali nimbrung dalam percakapan ibunya, Neng Imas Romdona, bersama para tamu.
Sejak pagi, Selasa (19/5) puluhan orang bolak-balik ke rumah kecilnya itu. Mereka bergantian menyalurkan bantuan. Sekaligus memastikan kondisi rumah Imas yang reot dan jauh dari kata layak.
“Saya juga kaget, hari ini ada banyak orang yang datang. Tiba-tiba aja gitu. Heran juga. Kemarin-kemarin tidak ada, cuma satu itu yang sempat videokan,” ucapnya kepada Radar Bogor.
Perempuan berusia 39 tahun itu sudah tinggal di RT03/08, Kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong selama dua tahun empat bulan. Gubuk kecilnya awalnya merupakan kandang angsa milik warga.
Berdiri di atas lahan garapan atau girik yang telah dicicil bersama sang suami. Kala itu, harganya Rp500 ribu per meter persegi. Meski hasilnya hanya seluas 147 meter persegi, tanah itu telah lunas di atas surat bermaterai. Sisa menunggu sertifikatnya.
“Kami memilih tinggal di sini, karena mikirnya kalau kontrak kan harus bayar tiap bulan. Sementara pekerjaan penghasilannya tidak menentu. Kalau tidak bisa bayar, nanti bisa diusir. Jadi, mending bangun sendiri saja, sambil beli tanahnya meski dicicil. Uangnya juga bisa dipakai untuk anak-anak sekolah,” terang perempuan beranak dua ini.
Imas harus rela mengungsi ketika musim hujan tiba. Air yang meluap bisa menghanyutkan seluruh barang di dalam rumah. Paling parah, ketinggian air pernah mencapai lehernya.
Tak heran, kondisi barang-barang di rumahnya ditempatkan di lokasi yang lebih tinggi. Sebagian lantai rumahnya juga dibiarkan tak dilapisi keramik atau sekadar lapisan semen.
Pendapatan suaminya, Yayat Supriatna, memang tak menentu lantaran bekerja sebagai pelukis. Sang suami harus bolak-balik Jakarta untuk menjalani profesinya itu.
Ia sampai harus rela tidur di kios atau lapaknya yang berdekatan dengan gedung kesenian selama lima hari. Sementara tiga hari berikutnya, baru bisa memeluk anak dan istrinya di rumah. Tentu saja, kereta KRL menjadi transportasi utama.
Imas mengakui, suaminya pernah menggantungkan hidup di Kabupaten Bogor. Ia menjajakan lukisan di sebuah kios. Hanya saja, telah hangus terbakar. Tak ada lagi tempat yang bisa menjadi pusat penjualan lukisan-lukisan suaminya yang berasal dari Jakarta.
Perempuan asal Pandeglang (Banten) itu pun membantu mengisi kas keluarga dengan bekerja dari pintu ke pintu. Lima hari dalam seminggu sebagai guru ngaji. Pun, ia tak pernah mematok jumlah imbalannya tiap bulan.
Hanya menerima amplop dari orang tua muridnya dan menerimanya dengan lapang dada. Baginya, uang itu sudah cukup untuk menyekolahkan anak pertamanya kini yang duduk di kelas 5 SD.
“Ada kira-kira dua rumah yang saya ajar ngaji. Saya sudah lama ngajar ngaji, bertahun-tahunlah. Bahkan ngajar ngaji sebelum menikah sama ayahnya anak-anak,” ungkap perempuan yang usianya terpaut 17 tahun dengan yang suami. (mam/c)