Dalam hal ini, sambung dia, tentunya pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih peka terhadap nasib guru honorer yang keberadaannya sangat berperan besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sementara, kata Asep, dari masing-masing lembaga sekolah selalu berbeda-beda dalam kebijakan penghonorannya. “Ada yang menggunakan jam mati, yang artinya ngajar atau tidak, libur atau tidak, tetap dihonor penuh. Ada juga yang menggunakan jam hidup atau istilah lainnya jam berdiri, yang artinya, jika masuk dibayat dan jika tidak masuk berarti tidak ada honor,” paparnya.
Tentu, hal ini sangat dilematis di masa pandemi seperti sekarang ini. Menurutnya, hal itu luput dari perhatian pemerintah. “Jangankan insentif, tunjangan sertifikasi dan inpassing juga yang sudah menjadi kewajiban pemerintah sering ditunggak dan tidak dibayarkan tiap bulan sekali seperti halnya guru negeri yang selalu lancer dibayar tiap awal bulan,” ungkapnya.
Tentu, hal ini semakin menambah penderitaan guru honorer yang sejatinya diperlakukan sama, karena sama-sama mengabdi mencerdaskan anak bangsa yang pengabdiannya pun tidak kalah hebatnya dari guru negeri.
Menurut analisanya, terdapat empat permasalahan serius yang harus disikapi secara serius pula di masa ini. Pertama, ada ketakutan dan kecemasan yang dirasakan oleh orang tua maupun penyelenggara pendidikan.