Alasannya, mayoritas gugatan terjadi karena faktor ekonomi. Ditambah, kondisi pandemi, yang membuat banyak masyarakat tak bekerja karena dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Makanya saat layanan Pengadilan Agama dibuka kembali, banyak yang memilih untuk mengajukan cerai gugat.
“Faktor ekonomi begitu mendominasi, banyak yang karena di-PHK. Mayoritas alasannya sudah mantap bercerai, jadi sulit untuk dimediasi. Faktor kekerasan dalam rumah tangga juga ada, tapi hanya insidentil. Karena KDRT itu sebenarnya efek dari ekonomi juga, perselisihan, pertengkaran juga dari faktor ekonomi,” aku Agus.
Ditilik sejak awal 2020, kasus laporan perceraian di Kota Bogor sudah tinggi. Pada Januari, laporan cerai gugat mencapai 182 kasus, dan cerai talak sebanyak 66 kasus.
Sementara Februari, cerai gugat sebanyak 116 kasus, dan cerai talak 35 kasus. Pada Maret 2020, kasus cerai gugat mencapai 102 kasus, dan cerai talak 18 kasus.
Pada April dan Mei, Pengadilan Agama Negeri Kota Bogor hanya membuka layanan secara daring. Jumlah laporan perceraian menurun, yakni cerai gugat 11 kasus dan tujuh kasus cerai talak pada April, sementara pada Mei, ada dua kasus cerai gugat, dan tiga kasus cerai talak.
“Kalau masyarakat enggak gaptek, laporan bisa online sebenarnya. Itu laporan April-Mei via online, namanya e-Court, jadi enggak harus datang jauh-jauh ke pengadilan. Panggilan bisa lewat email. Tetapi budaya kita masih suka face to face. Padahal, nanti ke depannya semua pakai online,” kata Agus.